Senin, 21 Juni 2010

HPII

TUGAS RESUME

HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Disusun Oleh

ANGGA LESMANA

BP 307 099

Dosen Pembimbing

Prof.Dr. Makmur Syarif. S.H.,Mag

Yurna Petri Rozi. M.Ag

JURUSAN AHWAL AL-ASYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

IMAM BONJOL PADANG

1431 H / 2010 M


BAB I

HUKUM ISLAM DI INDONESIA (HIDI) PENGERTIAN, LATAR BELAKANG, KEBERADAAN DAN KEKUATAN HUKUMNYA

Pengertian

Istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-figh al- Islamy. Istilah ini adalah wacana ahli Hukum Barat digunakan Islamic law.dalam al Qur’an maupun al Sunnah, istilah al- huk al Islam tidak dijumpai. yang digunakan adalah kata syari’at yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah figh. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pengertian hukum Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian syari’ah dan figh.

Pada mulanya kata syri’at meliputi semua aspek ajaran Agama: yakni akidah, syari’ah dan akhlak.ini terlihat pada syari’at setiap Agama yang diturunkan sebelum Islam. Karena bagi setiap ummat, Allah memberikan syari’at dan jalan yang terang (al Maidah, 5:48).

Syar’at Islam diturunkan secara bertahap dalam dua periode, Mekkah dan Madinah. Keseluruhan memekan waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari.sehubungan dengan ini muncul istilah teknis tasyri’ (legislasi atau pengundangan).istilah ini di kemudian hari,menjadi salah satu perbendarahaan istilah penting dalam kajian figh (hukum Islam). Jadi syari’at adalah produk atau materi hukumnya, tasyri’ adalah pengundangannya, dan yang memproduk disebut syari’ (Allah).

Adapun kata figh yangb dalam al-Qur’an digunakan dalam bentuk kata kerja (fi’l) disebut sebanyak 20 kali. penggunaannya dalam Al-Qur’an berarti memahami. Perhatikanlah, betapa kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran kami silih berganti, agar mereka memahaminya (al- An’am,6:65 dan al-A’raf, 7:179 dn surat lainnya. figh adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis(amaliah)yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci, contohnya, hukum wajib shalat, diambil dari perintah Allah dalam ayat Agamu al- shalat.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa antara syari’ah dan figh memiliki hubungan yang sangat erat. Karena figh adalah formula yang dipahami dari syari’ah. Syari’ah tidak bisa dijalankan dengan baik, tanpa dipahami melalui figh atau pemahaman yang memadai, dan diformulasiakn secara baku.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah peraturan-peraturan yang diambil dari wahyu dan diformulasikan dalam keempat produk pemikiran hukum figh,fatwa, Keputusan Pengadilan, dan Undang-Undang yang dipedomani dan diberlakukan lagi ummat Islam di Indonesia.

Latar Belakang

Secara garis besar hukum Islam terbagi kepada dua yaitu:

1) Figh Ibadat yang meliputi aturan tentang shalat, puasa, zakat, haji, nazar dan sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya.

2) Figh Muamalat mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya, seperti perikatan, sanksi hukum, dan aturan lain, agar terwujud ketertiban dan keadilan, baik secara perorangan maupun kemasyarakatan.figh muamalat ini dipilih sesuai dngan aspek dan tujuan masing-masing. Abdul Wahab Khalaf merinci figh muamalat yaitu:

a) Hukum Kekeluargaan (ahwal al-syakhhsiyah)

b) Hukum Sipil (al-ahkam al-madaniyah)

c) Hukum Pidana (al-ahkam al-jinayah)

d) Hukum Acara (al- ahkam al-murafaat)

e) Hukum Ketatanegaraan (al-ahkam al-dusturiyah)

f) Hukum Internasional (al-ahkam al-duwaliyah)

g) Hukum Ekonomi (al-ahkam aligtisadiyah wa al-maliyah).

Teori-teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia

1) Teori Receptio in Complexu

2) Teori Receptie

3) Teori receptie Exit atau Receptie a Contrario

Keberadaan dan kekuatan hukumnya

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disahkan melalui Instruksi Presiden Repblik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 jun 199. kemudian ditindak lanjuti Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 juli 1991, dan disebarluaskan melalui surat ederan Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Nomor 3694/EV/HK. 003/AZ/91 tanggal 25 juli 1991.

Dalam konsideran Instruksi Presiden dinyatakan sebagai berikut:

a. Bahwa Ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada tangal 2-5 februari 1988 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompiasi Hukum Islam,yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, Buku III tentang hukum Perwakafan.

b. Bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam di bidang tersebut.

c. Bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a perllu disebarluaskan

Selanjutnya, dengan menunjuk pasal 4(1) Undang-Undang Dasar 1945 “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”, Presiden menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk:

Pertama : menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islamyang terdiri dari :

a. Buku I tentang Hukum Perkawinan

b. Buku II tentang Hukum Kewarisan

c. Buku III tentang Hukum Perwakafan

Kedua : melaksanakan Instruksi ini dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab.

Selanjutnya dalam Keputusan Mentri Agama tentang pelaksanaan Instruksi Presiden RI Nomor 1991disebutkan :

Pertama: Seluruh Instansi Pemerintahan Agama dan Instansi Pemerintahan lainya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan ,Kewarisan, Perwakafan sebagaimana yang dimaksud dalam diktum pertama Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 10 juni 1991 untuk digunakan oleh Instansi Pemerintahan dan masyarakat yang memerlukan dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.

Kedua: Seluruh lingkungan Instansi tersebut dalam diktum pertama, dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan, Perwakafan, sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersbut disamping Undang-Undang lainya.

Ketiga: Direktur Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan urusan Haji mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri Agma Republik Indonesia ini dalam bidang tugasnya masing-masing.

Selanjutnya Abdurrahman berkesimpulan bahwa fungsi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah:

a. Sebagai suatu langkah awal atau sasaran antara untuk mewujudkan kodifikasi dan unifikasi Hukum Nasional yang berlaku untuk warga masyarakat.

b. Sebagai pegangan dari para Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang mempunyai kewenangan.

c. Sebagai pegangan bagi para warga masyarakat mengenai hukum Islam yang berlaku baginya yang sudah merupakan hasil rumusan yang diambil dari berbagai kitab kuning yang semua tidak dapat mereka baca secara langsung.

Berdasarkan uraian di atas, keterikatan warga masyarakat dan Instansi Peradilan Agama kiranya perlu dilihat dari dari perspektif metodologis. Kompilasi Hukum Islam, yang boleh dikatakan sebagai ijma’ ulama atau setidaknya kesepakatan mayoritas ummat Islam Indonesia mengikat umat Islam Indonesia untuk mempedomani dan menerimanya dengan senang hati sebagai refleksi kesadaran hukum mereka.

Berikutnya produk pemikiran Hukum Islam berupa Keputusan Pengadilan Agama. Keputusan Pengadilan Agama bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang berperkara.meskipun sebagai produk lembaga yudikatif, keputusan Pengadilan dapat dinilai sebagai Yurisprudensi, dalam kasus yang sama, dapat dijadikan sebagai referensi hukum. sampai tingkat tertentu menurut Atho’ Mudzhar, keputusan Pengadilan bersifat dinamis. akan halnya produk pemikiran Hukum Islam yang berbentuk Perundang-undangan, bersifat mengikat bahkan daya ikatannya lebih luas.

Dengan memperhatikan ragam produk pemikiran Hukum Islam tersebut di atas, pertanyaan yang muncul adalah apakah Kompilasi Hukum Islam tersebut sebagai karya figh, atau sebagai perundang-undangan, atau keduanya. namun terlepas dari persoalan bentuk tadi, Kompilasi yang disebut sebagai figh dalam bahasa Perundang-undangan merupakan karya bersama Ulama dan Ummat Islam Indonesia. maka sepatutnya ia dipahami dan ditempatkan sebagai pedoman hukum yang dijadikan referensi hukum dalam menjawab setiap persoalan hukum yang muncul, baik di Pengadilan Agama maupun di masyarakat

BAB II

PROSES PERUMUSAN DAN SUMBER-SUMBER RUJUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

Proses Perumusan

Secara Yuridis formal Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah diawali pada saat Proklamasi Kemerdekaaannya, yaitu tanggal 17 agustus 1945.pada tanggal 18 agustus 1945 kemudian diakaui sebagai berlakunya Undang-Undang Dasar 1945.

Secara dikebiri melalui teori receptie telah dmulai sejak perumusan dasar Negara pada saat BPUPKI bersidang. Disahkannya Piagam, Jakarta 22 jni 1945, yang kemudian disepakati direvisi menjadi rumusan final pada sila pertama Pancasila, yaitu Keuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 29 batang tubuh UUD 1945, yang berbunyi: (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk Agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut Agamanya dan kepercayaan itu. membicarakan hukum Islam di Indonesia, tidak bisa Tidak, ada kaitannya dengan sejarah peradilan Agama di Indonesia. lembaga inilah secara formal merupakan wadah penyelesaian atau pelaksanaan hukum Islam sebagai kelanjutan Pengadilan Serambi atau Pengadilan masjid di masa Kesultanan dahulu. karena hukum materil yang menjadi komptensi absolutnya adalah hukum Islam.

Setelah dirumuskanUUD 1945, langkah yang ditempuh oleh Pemerintah ialah menyerahkan Pembinaan Peradilan Agama dari Kementrian Kehakiman kepada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No 5/sd/1946. pada tahaun 1948 keluarkan UU No 19 tahun 1948 yang memasukkan peradilan umum. Karena muatan Undang-undang ini tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia Undang ini tidak pernah dinyatakan berlaku.

Sumber-Sumber Rujukan Kompilasi Hukum Islam

Sumber rujukan Kompilasi Hukum Islam dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Kitab-kitab figh standar yang dibakukan melalui surat edaran ederan biro peradiln agama No B/1/735 tanggal 18 februari 1958 sebagai tindak lanjut PP No 45 tahun 1957 kepada para Hakim Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah untuk di pedomani, dtambah kitab figh modern.

2. Wawancara dengan para ulama di seluruh Indonesia. Pelaksanaannya diambil dari sepuluh lokasi, yaitu Bandah Aceh, Medan, Palembang, Padang, Jawa tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Ujung Padang, Mataram, Banjarmasin.

3. Yurisprudensi dan kumpullan fatwa peradilan Agama terdiri dari 15 buku

1). Himpunan putusan PA/ PTA terdiri dari 3 buku

2). Himpunan fatwa terdiri dari 3 buku

3). Yurisprudensi Peradilan Agama terdiri dari 5 buku

4). Law report terdiri dari 4 buku

4. Hukum Islam yang dipraktekkan di Negara Muslim di Timur Tengah, meliputi:Maroko, Turki, Mesir, dan lainnya.

Demikianlah sumber-sumber rujukan yang digunakan dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam yang relatif lengkap. mulai dari kitab-kitab figh klasik dan modern, Pendapat dan Pemikiran para Ulama Indonesia, produk pemikiran berupa fatwa dan keputusan Pengadilan dan Hukum yang berlaku diberbagai negara muslim di dunia.

BAB III

PEMINANGAN : PENGERTIAN, SYARAT, HALANGAN DAN AKIBAT HUKUM

Pengertian

Peminangan merupakan langkah pendahuluan menuju kea rah perjodohan antara seorang pria dengan wanita. Pasal 1 Bab I Kompilasi huruf a memberi pengertian bahwa peminangan ialah kegiatan upaya kea rah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan wanita dengan cara-cara yang baik (ma’ruf). Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodohtapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya (ps.11 KHI). Peminangan juga dapat dilakukan secara terang-terangan (sarih) atau dengan sindiran (kinayah). Seperti di isyaratkan dalam surat Al-Baqarah,2:235 yang artinya “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kemu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf”.

Dalam bahasa Al-Quran, peminangan mdisebut khitbah. Mayoritas Ulama menyatakan bahwa peminangan tidak wajib. Namun praktek kebiasaan dalam masyarakat menunjukkkan bahwa peminangan merupakan pendahuluan yang hamper pasti dilakukan . ini sejalan dengan pendapat Dawud al-Zahiry yang menyatakan meminang hukumnya wajib.

Syarat Peminangan dan Halanganya

Pasal 12 KHI menjelaskan, pada prinsipnya, peminangan dapat dilakukan terhadapseorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Ini dapat dipahami sebagai syarat peminangan. Selain itu syarat-syarat lainnya wanita yang dipinang tidak terdapat halangan seperti berikut, pasal 12 ayat (2),(3),dan (4).

(2). Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang,

(3). Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.

(4). Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Jadi dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa syarat peminangan terletak pada wanita, yaitu:

1. Wanita yang dipinang tidak isteri orang

2. Wanita yang dipinagn tidak dalam pinangan laki-laki lain

3. Wanita yang dipinang tidak dalam masa iddah raj’i

4. Wanita dalam masa iddah wafat, tetapi hanya boleh dipinang dengan sindiran (kinayah)

5. Wanita dalam masa iddah bain sugraoleh bekas suaminya

6. Wanita dalam masa iddah bain kubra boleh dipinang bekas suaminya, setelah kawin dengan laki-laki lain, didukhul dan diceraikan

Dari uraian diatas dapat diambil pemahaman, bahwa wanita yang satusnya kebalikan dari yang dijelaskan tersebut diatas, maka terhalang untuk dipinang.

Akibat Hukum Peminangan

Pada prinsipnya apabila peminangan telah dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap wanita, belum berakibat hukum. Kopilasi menegaskan “ (1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan. (2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai” (ps.13 KHI).

Karena peminangan prinsipnya belum berakibat hukum, maka di antara mereka yang telah bertunangan, tetap dilarang untuk berkhalwat (bersepi-sepi berdua), sampai dengan mereka melangsungkan akad perkawinan. Kecuali apabila disertai oleh mahram, maka bersepi-sepi tadi dibolehkan. Adanya mahram dapat menghib=ndarkan mereka terjadinya maksiat.

Dalam kaitan peminangan ini, dalam mayarakat terdapat kebiasaan pada waktu upacara tunanganan, calom mempelai laki-laki memberikan suatu pemberian seperti perhiasan atau cedera hati lainnya sebagai kesungguhan niatnya untuk melanjutkan ke jenjang perkawinan.

BAB IV

PERKAWINAN : PRINSI-PRINSIP, RUKUN DAN SYARAT-SYARATNYA

Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah.kompilasi menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat (miitsaqan gholiidan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah (ps.2 KHI).

Syarat-syarat perkawinan mengikuti rukun-rukunnya, seperti dikemukakan Kholil Rahman:

a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:

1) Beragama Islam

2) Laki-laki

3) Jelas orangnya

4) Dapat memberikan persetujuan

5) Tidak terdapat halangan perkawinan

b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya:

1) Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani

2) Perempuan

3) Jelas orangnya

4) Dapat dimintai persetujuan

5) Tidak terdapat halangan perkawinan

c. Wali nikah, syarat-syaratnya:

1) Laki-laki

2) Dewasa

3) Mempunyai hak perwalian

4) Tidak terdapat halangan perwaliannya

d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

1) Minimal dua orang laki-laki

2) Hadir dalam ijab qabul

3) Dapat mengerti maksud akad

4) Islam

5) Dewasa

e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:

1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria

3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij

4) Antara ijab dan qabul bersambungan

5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

6) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah

7) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.

Rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut di atas wajib dipenuhi apabila tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam Kitab al-Fiqh’ala al-Mazahib al Arba’ah: Nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi rsyarat-syaratnya, sedang nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya. Hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama yaitu tidak sah.

Kompilasi Hukum Islam mnjelaskan rukun nikah dalam pasal 14, yaitu :

a. Calon suami

b. Calon isteri

c. Wali nikah

d. Dua orang saksi

e. Ijab Kabul

Undang-undang perkawinan mengatur syarat-syarat perkawinan dalam Bab II pasal 6:

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, mak izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),(3),dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat member izin setelah lebih dahulu mendengar orang=orang tersebut dalam ayat (2),(3), dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari bersangkutan tidak menentukan lain

A. Persetujuan Calon Mempelai

Hukum Islam Indonesia menentukan salah satu syarat-syarat perkawinan adlah persetujuan calon mempelai (ps.6 ayat (1) jo.ps. 16 ayat (1) KHI. Persetujuan ini penting agar masing-masing suami isteri , memasuki gerbang perkawinan dan berumahtangga, benar-benar dapat dengan senag hati membagi tugas,hak dan kewajibannya secara proporsional. Dengan demikian tujuan perkawinan dapat tercapai. Dalam tahap awal, persetujuan dapat diketahui melalui calon mempelai wanita, dan pada tahap akhir dilakukan petugas atau pegawai pencatat, sebelum akad nikah dilangsungkan.

Kompilasi merumuskan dalam pasal 16 ayat (2): “Bentuk persetujuan calon mempelai wanita,dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas”.

Sebagai pengukuhan adanya persetujuan calon mempelai Pegawai Pencatat mananyakan kepada mereka. Sebagaimana diatur dalam pasal 17 Kompilasi Hukum Islam:

(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan,Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.

(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan.

(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

B. Umur Calon Mempelai

Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) menyatakan bahwa “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan dalam Kompilasi pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan.

Disamping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi. Berhubungan dengan itu, mak undang- undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita (Penjelasan umum UU Perkawinan, nomor 4 huruf d).

Masalah penentuan umur dalam UU Perkawinan maupun dalam kompilasi, memang bersifat ijtihadiyah, sebagi usaha pembaharuan pemikiran fiqh yang lalu. Namun demikian, apabila dilacak referensi syar’inya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat Allah dalam surat Al-Nisa,4:9 yang artinya “dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan ) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Secara metodologis, langkah penentuan usia kawin didasarkan kepada metode maslahat mursalah. Namun demikian karena sifatnya yang ijtihad, yang kebenarannya relative, ketentuan tersebut bersifat kaku. Artinya, apabila karena sesuatu dan lain hal perkawinan dari mereka yang usianya dibawah 21 tahun atau sekurang-kurangnya 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita, undang-undang tetap member jalan keluar. Pasal 7 ayat (2) menegaskan:” Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.

Dalam hal ini Undang-undang Perkawinan tidak konsisten. Distu sisi, pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua di sisi lain pasal 7 (1) menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Bedanya kurang dari 21 tahun, yang diperlukan izin orang tua, dan jika kurang dai 19 tahun, perlu izin pengadilan. Ini dikuatkan pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum islam.

C. Wali Nikah

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya. Apabila tidak dipenuhi maka status perkawinannya tidak sah.

Karena keberadaan wali nikah merupakan rukun, maka harus dipenuhi beberapa syarat. Dalam pasal 20 KHI (1) dirumuskan sebagai berikut: “ yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim,aqil, dan baliqh”.

Undang-undang perkawinan tidak mengatur tentang wali nikah secara eksplisit. Hanya dalam pasal 26 ayat (1) dinyatakan: “ perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah\, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannyaoleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami isteri, jaksa, dan suami atau Isteri”.

Jadi secara inplisit bunyi pasal di atas mengisyaratkan dengan jelas bahwa perkawinan yang tidak diikuti wali, maka perkawinanya batal atau dapat dibatalkan. Namun demikan, apabila ternyata mereka yang melangsungkan perkawinan telah hidup bersama sebagai suami isteri, maka hak untuk membatalkannya menjadi gugur. Dalam rumusan UU Perkawinan dinyatakan : “Hak untuk membatalkan oleh suami, atu isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri yang dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah”.

Wali nikah ada dua macam, pertama wali nasab yaitu wali yang hak perwaliannya didasarkan karena adanya hubungan darah. Ini bisa orang tua kandungnya, dan bisa juga wali aqrab dan ab’ad (saudara terdekat atau yang agak jauh). Kedua, wali hakim aqrab yaitu wali yang hak perwaliannya timbul karena orang tua mempelai perempuan menolak(‘adal) atau tidak ada, atau karena sebab lain.

Kompilasi hukum Islam merinci tentang wali nasab dan wali hakim dalam pasal 21,22, dan 23.

Pasal 21:

(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat atu tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara ayah, dan keturunan laki-laki mereka

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka

(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah

(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni derajat kandung, atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22:

Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzhur, maka menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lainmenurut derajat berikutnya.

Apabila diurutkan secara lebih rinci adalah sbb:

1. Ayah kandung

2. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya ke atas dalam garis laki-laki

3. Saudara laki-laki kandung

4. Saudara laki-laki seayah

5. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah

7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah

9. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman)

10. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah)

11. Anak laki-laki paman sekandung

12. Anak laki-laki paman seayah

13. Saudara laki-laki kakek sekandung

14. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung

15. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah

Apabila wali-wali tersebut tidak ada, mak hak perwalian pindah kepada Kepala Negara (sultan) yang biasa di sebut dengan wali hakim. Ditegaskan dalam pasal 23:

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Mengenai pemindahan urutanwali aqrab dari yang dekat kepada yang jauh apabila wali yang dekat ada, atau karena sesuatu hal, dianggap tidak ada, yaitu:

1. Wali aqrab tidak ada sama sekali

2. Wali aqrab ada, tetapi belum baligh

3. Wali aqrab ada, tetapi menderita sakit gila

4. Wali aqrab ada, tetapi pikun karena tua

5. Wali aqrab ada, tetapi bisu dan tidak dapat dimengerti isyaratnya

6. Wali aqrab ada,tetapi tidak beragama Islam sedang calon mempelai wanita beragama Islam.

Adapun perpindahan dari wali nasab kepada wali hakim dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Wali aqrab atau wali ab’ad tidak ada sama sekali

2. Wali aqrab ada,tetapi akan menjadi calon mempelai pria, sedang wali aqrab yang sederajat (sama-sama anak paman) sudah tidak ada.

3. Wali aqrab ada, tetapi sedang ihram

4. Wali aqrab ada tetapi tidak diketahui tempat tinggalnya (mafqud)

5. Wali aqrab ada tetapi menderita sakit pitam

6. Wali aqrab ada tetapi menjalani hukuman yang tidak dapat dijumpai

7. Wali aqrab ada tetapi berpergian jauh sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qasar

8. Wali aqrab ada, tetapi menolak untuk mengawinkannya (adlal)

9. Calon mempelai wanita menderita sakit gila, sedang wali mujbirnya (ayah atau kakeknya) sudah tidak ada lagi.

D. Nikah Dengan Wali Hakim

Dalam penjelasan huruf b.pasal 1 Kompilasi disebutkan, “wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk berindak sebagai wali nikah”.

Dalam pelaksanaannya,Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan atau Pegawai Pencatat Nikah bagi mereka yang tidak memiliki wali atau walinya adlal.

Akar persoalan utamanya seperti termaktub dalam pasal 1 huruf b.Kompilasi, adalah persoalan tauliyah al-amr (delegation of authority).

Sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 maka Kepala Negara dan sekaligus sebagai wily al-‘am (penguasa umum) adalah presiden. Kedudukan Mentri Agama sebagai pembantu Presiden menerima tauliyah (delegation) dalam urusan mengatur-bukan mencampuri-penyelenggaraan akad nikah bagi wanita yang tidak memiliki wali, atau karena walinya adlal. Ketika masalahnya menyinggung apakah tepat Presiden diperankan sebagai waliyul amri al-daruri bi al-syaukah, yang keputusan dan delegasi kewenangannya harus dipatuhi.

Di Jawa dan Madura, Menteri Agama mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 1952 yang intinya, “Apabila seorang mempelai perempuan tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali yang aqrab mafqud, yang menjalankan hukuman dan tidak dapat dijumpai, atau mengadakan perjalanan jauh se jauh masafah qasar dan sebagainya, maka nikah dapat dilangsungkan dengan wali hakim.

Untuk wilayah luar jawa dan Madura, dikeluarkan juga Peraturan Menteri Agama No 4 tahun 1952 yang isinya sama dengan peraturan yang berlaku di Jawa dan Madura, dengan catatan :”Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten diberi kuasa atas nama Menteri Agama menunjuk qadi-qadi (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah/P3NTCR) yang cakap serta ahli untuk menjadi wali hakim biasa. Sedang untuk wali hakim karena adlal ditunjuk Kepala KUA Kecamatan.26 Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1952 ini mencabut semua wewenang yang semula ada pada pejabat agama setempat untuk mengankat wali hakim secara lisan, dan juga wewenanguntuk pengangkatan yang diberikan oleh pejabat pemerintah pusat lain atau pemerintah awapraja. Ini merupakan suatu tindakan langsung dan berhasil dalam mengambil alih kekuasaan di bidang agama yang semula berdasarkan adat setempat.27

E. Kehadiran Saksi Dala Akad Nikah

Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah,karena itu setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi (ps.24 KHI). Pasal 26 Undang-undang Perkawinan ayat (1) menegaskan: “Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi dapat dimintakan pembatalannyaoleh para keluarha dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami isteri,jaksa,dan suami atau isteri.

Saksi selai merupakan rukun nikah , ia dimaksudkan guna mengantisipasi kemungkian-kemungkinan yang bakal terjadi di kemudian hari, apabila salah satu suami atau isteri terlibat perselisihan dan diajukan perkaranya ke pengadilan. Fungsi lain kehadiran saksi dalam akad nikah, menurut Abu Hanifah adalah Informasi (I’lan) telah dilangsungkannya suatu perkawinan.

F. Pelaksanaan Akad Nikah

Menurut ketentuan pasal 10 PP No.9 tahun 1975 pasal 10, “Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah”.

Hukum Islam memberi ketentuan bahwa syarat-syarat ijab qabul dalam akad nikah adalah:

1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria

3. Menggunakan kata-kata: nikah atau tazwij atau terjemah dari kata-kata nikah atau tazwij

4. Antara ijab dan qabul bersambungan

5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

6. Orang yang berkaitdengan ijab qabul itu tidak sedang dalam ihram haji atau umrah

7. Majelis ijab qabul itu harus dihadiri minimal empat orang, yaitu calon mempelai pria atau wakilnya,wali dari mempelai wanita atau wakilnya, san dua orang saksi

Dalam rangkaian upacara akad nikah, juga dianjurkan didahului dengan khutbah nikah. Khutbah nikah dapat bermamfaat menambah kehidmatan suatu aqad yang merupakan misaqan galidhan, juga member informasi tetang hikmah perkawinan. Setelah itu acara ijab qabul diucapkan oleh wali mempelai wanita atau yang mewakilinya, apabila di serahkan kepada wakil,sebelum ijab, terlebih dahulu ada akad wakalah yaitu penyerahan hak untuk menikahkan calon mempelai wanita, dari wali kepada wakil yang ditunjuk.

Setelah diucapkan kalimat ijab atau penyerahan maka mempelai laki-laki mengucapkan qabul (penerimaan) ijab tersebut secara pribadi (ps.29 ayat (1)). Jika karena sesuatu hal, calon mempelai pria tidak bisa hadir secara pribadi, maka ucapan qabul dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria member kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria (ps.29 ayat (2)). Hal ini tentu saja dengan adanya persetujuan dari mempelai wanita.

Langkah berikutnya, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku, diteruskan dengan kedua saksi dan wali. Dengan penandatanganan akta nikah tersebut, maka perkawinan telah tercatat secara resmi (pasal 11), dan mempunyai kekuatan hukum (ps.6 ayat (2)).


BAB V

MAHAR (MAS KAWIN)

Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentang dengan hukum Islam (pasal 1 huruf d. KHI). Hukumnya wajib menurut kesepakatan para ulama merupakan salah satu syarat sah nikah. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merumuskannya pada pasal 30 calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya yang disepakati oleh kedua belah pihak. Penentuannya besarnya mahar didasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam(pasal 31 KHI)

Tidak ada ketentuan hukum yang disepakati oleh ulama tentang batas maksimal pemberian mahar, dan demikian batasan minimalnya. Yang jelas meskipum sedikit ia wajib ditunaikan.

Penyebutan mahar dan jumlah serta bentuknya termasuk di dalamnya tunai atau tangguhnya, diucapkan pada saaat akad nikah. yaitu pada saat ijab oleh wali memplai wanita, an dikonformasikan dengan qabul mempelai laki-lak. Oleh karena sifatnya bukan rukun dalam perkawinan, maka kelalaian dalam menyebutkan jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. begitu pula halnya dengan mahar masi terutang, tidak mengurang sahnya perkawinan, (pasal 34 (2)).

Pembayaran mahar yang ditangguhkan tersebut tergantung pada persetujuan istri. Apabila laki-laki belum menyerahkan mahar, mempelai wanita menolak berhubungan suami istri, sampai dipenuhi mahar tersebut.

Apabila perceraian terjadi sebelum dukhul akan tetapi besarnya mahar belum ditentukan, maka suami wajib membayar mahar mitsil (pasal 35 ayat(3) KHI). Mahar mitsil adalah mahar yang besarnya dipertimbangkan atas dasar kelayakan yang umum dimana mempelai wanita itu tinggal. namun jika suami meninggal sebelum dukhul, sluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istrinya (pasal35 ayat(3))

Apabila sehubungan dengan pemberian calon suami diluar mahar, menimbulkan permasalahan berupa perselisihan pendapat apakah pemberian tersebut sebagai mahar atau hadiah. Apabila dalam perselisihan itu istri menyatakan sebagai hadiah, meskipun suami mengaku sebagai mahar, maka yang diterima adalah pengakuan istri.

Kata mahar dalam al-quran tidak digunakan, akan tetapi digunakan kata saduqah, yaitu dalam surat al-Nisa 4:4 “Berikanlah maskawin(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuk kerelaan.jika mereka menyerahakan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu menjadi hak pribadinya (ps.32 KHI). Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Namun apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Karenanya, mahar yang belum di tunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria (ps.33 KHI).

Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnyaatau dengan barang lainyang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang(ps.36 KHI). Jika kemudian terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya di atur dalam paal 38:

(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.

(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar Karen acacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.

BAB VI

PENCATATAN PERKAWINAN DAN AKTA NIKAH

Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui Perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (misaq al-galid) perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.

Pemerintah telah melakukan upaya ini sejak lama sekali, karena perkawinan selain merupakan akad suci, ia juga mengandung hukum keperdataan. Ini dapat dilihat dalam penjelasan Umum Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan no 2:

“Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negaranya dan berbagai daerah seperti berikut:

a. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresipiir dalam hukum adat

b. Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku hukum adat

c. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonantie Cristen Indonesia (stbl.1933 No. 74)

d. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan

e. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka

f. Bagi orang-orang Eropa dan warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang di samakan dengan mereka berlaku kitab Undang-undang Hukum Perdata”.

Kelahiran UU Perkawinan ini merupakan ajal teori Iblis receptive yang di motori Snouck Hurgronje.

Akan halnya tentang pencatatn perkawinan, Kompilasi menjelaskannya dalam pasal 5:

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat

(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.22 tahun 1946 jo. Undang-undang No 32 Tahun 1954.

Tekhnis pelaksanaannya, dijelaskan dalam pasal 6 yang menyebutkan:

(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah

(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Secara lebih rinci, Pearturan Pemerintah No 9 tahun 1975 Bab II pasal 2 menjealaskan Perkawinan:

(1) Pencatatn perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat, sebagaimana dimaksudkan dalam UU No 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk.

(2) Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pencatat Perkawinan pada kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan

(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 9 PP ini.

Pencatatan memiliki mamfaat preventif,yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan, baik menurutr hukum agama dan kepercayaannya itu, maupun menurut perundang-undangan. Dalam bentuk konkretnya, penyimpangan dapat dideteksi melalui prosedur yang diatur dalam pasal 3PP No.9 Tahun 1975

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan

(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan

(3) Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat(2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (pasal4). Adapun hal-hal yang diberitahukan meliputi: nama,umur,agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanyapernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu (pasal5). Dengan adanya pemberitahuan ini dapat menghindari penyimpangan atau pemalsuan identitas.

Tindakan yang harus diambil oleh pegawai Pencatat setelah menerima pemberitahuan, diatur dalam pasal 6 sbb:

(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang

(2) Selain penelitian terhadap hal sebagai di maksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat meneliti pula:

a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kena lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu.

b) Keterangan mengenai nama,agama/kepercayaan,pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.

Setelah dipenuhi persyaratan dan tata caranya serta tidak terdapat halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan. Caranya dengan menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan.

Akta Nikah

Perkawinan dapat dilangsungkan dengan ketentuan dan tata cara yang di atur dalam pasal 10 (PP No.9/75) sbb:

(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai Pencatat seperti yang di maksud pasal 8

(2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

(3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu,perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh 2 orang saksi.

Akta nikah, menurut ketentuan pasal 13 (pp No 9/75) dibuat dalam rangkap 2 (dua): helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada panitera pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan perkawinan itu berada (ayat(1)). Kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (ayat(2)).

BAB VII

LARANGAN, PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

Larangan

Larangan Perkawinan dalam bahasa Agama disebut dengan mahram. Larangan Perkawinan ada dua macam pertama larangan abadi (Muaabbad) dan kedua larangan waktu tertentu (muaggat). Larangan abad, diatur dalam pasal 39 kompilasi hukum Islam di Indonesia.

Dilarang melangsungkan Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita disebabkan;

1) Karena pertalian nasab:

· Dengan seorang wanita yang melahirkan.

· Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.

· Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.

2) Karena pertalian kerabat semenda:

· Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.

· Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.

· Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putus hubungan perkawinan dengan bekas istrinya iti qabla al dukhul.

· Dengan seorang wanita bekas istrinya keturunanya.

3) Karena pertalian sesusuan:

· Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.

· Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.

· Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemanakan sesusuan kebawah.

· Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.

· Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

Adapun larangan Perkawinan sewaktu-waktu dapat berubah (muaqqat) dijelaskan dalam pasal 40 kompilasi. dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:

a) Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pri lain.

b) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.

c) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 4 menjelskan larangan kawin karena pertalian nasab dengan perempuan yang telah dikawini, atau karena sesusuan.

1. Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya:

· Saudara kandung, seayah atau seibu serta seketurunannsya

· Wanita dengan bibinya atau kemanakannya

2. Larangan pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raj’i tetapi dalam masa iddah. dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 larangan perkawinan diatur dalam pasal 8,9 dan10:

Pasal 8:

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah maupun ke atas.

b) Berhubungan darah menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

c) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri

d) berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi paman susuan.

e) Berhubungan dengan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

f) Mempunyai hubungan yang oleh Agamanya atau peraturan yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 9:

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2)dan pasal 4 undang-undang.

Pasal 10:

Apabila suami dan istri yang telah bercerai kawin lagi dengan satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pencegahan dan pembatalan perkawinan

  1. Pencegahan perkawinan

Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari dari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan peundang-undangan (pasal 60 KHI). Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 merumuskannya:”perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan”.

Ada dua syarat penting yang apabila tidak dipenuhi, perkawinan dapat di cegah pertama:syarat materil, pertama, syarat materilperkawinanan telah dibahas dalam pencatatan perkawinan dan akta nikah, dan tentang larangan perkawinana seperti dimuat dalam pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974, dan kedua syarat administratif. syarat administratif harus juga dipenuhi oleh karena itu menurut ketentuan pasal 3 PP No Tahun1975 ditentukan yaitu:

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan yang akan dilangsungkan.

2. Pemberitahuan dalam ayat(1) di lakukan sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

3. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat(2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atau nama Bupati kepala daerah.

Agar tidak terjadi kerancuan, maka Undang-Undang Perkaawinan maupun Kompilasi mengatur siapa-siapa yang berhak untuk mengajukan pencegahan Perkawinan tersebut. Pasal 14 UU No. 1X Tauhun 1974. Menyatakan:

1. Yang dapat mencegah Perkawinan adalah keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan ke bawah, saudar, wali nikah, wali pengampu salah seorang dari calon memeplai dan pihak yang berkepentingan.

2. Mereka yang tersebut dalam ayat(1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Apabila Pegawai Pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan mernurut Undang-Undang ini, maka ia akan melangsungkan perkawinan. Hal ini diatur dalam pasal 21 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 69 Kompilasi.

Mengenai tata cara dan prosedur pengampuan pencegahan perkawinan, diatur dalam pasal 17 UU No 1 Tahun 1974 jo. Pasal 65 Kompilasi:

1. Pencegahan Perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana Perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.

2. Kepada calon mempelai beritahukan mengenai permohanan pencegahan perkawinan yang dimaksud dalam ayat(1). dalam Undang-Undang ini oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

  1. Pembatalan perkawinan

Dalam mengemukakan jenis perkawinan yang dapat dibatalkan, kompilasi lebih sistematis daripada Undang-undang Perkawinan. Pasal 70 dan 71 mengatur masalah ini, smentara dalam Undang-undang perkawinan, diatur dalam pasal 22, 24, 26. Pasal dan pasal 25 tentang tempat dimana pembatalan tersebut diajukan. Macam-macam Perkawinan yang dapat dibatalkan terdapat dalam pasal 24 dan 26 UU Perkawinan yaitu

Pasal 24 yaitu:

Barangsiapa karena Perkawinan masih terikat pada dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak, dan atas dasar masih adanya Perkawinan dapat mengajukan pembatalan Perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi pasal 3 ayat(2) dan pasal 4.

Pasal 26 yaitu:

1. Perkawinan yang dilangsungkan dimuka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwewenang,wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tidak di hadiri oleh dua orang saksi dapat diminta pembatalan oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri.

2. Hak untuk membatalkan suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat(1) pasal ini gugur apabila mereka sudah hidup bersama sebagai suami istri yang dapat memperlihatkan akte Perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Pencatat yang tidak berwewenang dan perkawinan harus diperbaharui supayah sah.

Adapun bunyi pasal 75dan76 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:

Pasal 75 KHI :

Keputusan Pembatalan tidak berlaku surut terhadap:

a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad.

b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritkad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 76 KHI:

Batalnya suatu Perkawinan tidak akan memutuskan hubungan Hukum antara anak dengan orang tuanya.

BAB VIII

PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN

Dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diatur maslah Perjanjian Perkawinan dalam pasal 29 yaitu:

1. Pada waktu atau sebelum Perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setalah mana isinya berlaku juga terhadap pada pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas Hukum, Agama, dan Kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut berlaku sejak Perkawinan dilangsungkan.

4. Selama Perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Kompilasi sendiri memuat 8 pasal tentang perjanjian perkawinan, yaitu pasal 45 sampai dengan pasal 52.

Pasal 45 menyatakan :

Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:

1. Talilk talak

2. Perjanjian lain yang tidak bertentang dengan Hukum Islam.

Dalam Pasal 46 Kompilasi juga mengatur yaitu:

1. Isi talik talak tidak bertentangan dengan Hukum Islam.

2. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam Talik talak betul-betul terjadi kemudian tidak dengan sendirinya talak jatuh

3. Perjanjian talik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan setiap perkawinan akan tetapi sekali talik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut lagi.

Pasal 47 :

1. Pada waktu atau sbelum Perkawinan dilangsungkan kedua mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

2. Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencarian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentang dengan Hukum Islam

3. Disamping ketentuan dalam ayat(1) dan (2) di atas boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan massing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama atau harta sarikat.

Pasal 48:

1. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

2. Apabila dibuat oerjanjian perkawinan tidak memenuhi syarat tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarokat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.

Pasal 49:

1. Perjanjian pencampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta

2. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan.

Pasal 50:

1. Perjanjian perekawinan mengenai harta mengikat kepada para pihak kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal perkawinan berlangsung.

2. Perjanjian mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami istri dan wajib mendaftarkanya.

3. Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami istri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran.

4. Apabila dalam tempo 6 bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftara pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat pada pihak ketiga.

Pasal 51:

Pelanggaran atas perjanjian perkawinan member hak kepada istri meminta pembatalan nikah atau mengajukanya sebagai alasan gugatan penceraian ke PA.

Pasal 52:

Pada saat dilangsungkanya perkawinan dengan istri kedua, ketiga atau keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang akan dinikahi itu.

BAB IX

PERKAWINAN WANITA HAMIL

Dalam Kompilasi Hukum Islam mengatur soal kawin dengan perempuan hamil yaitu:

Pasal 53

1. Seoorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) langsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan Perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Oleh karena itulah dalam hal ini ketelitian dan kearifan Pegawai Pencatat Nikah merupakan peran penting dalm mengantisipasi dalam kemungkinan terjadinya Perkawinan laki-laki baik-baik dengan wanita hamil. Pendekatan dan upaya Pegawai Pencatat, apabila dilaksanakan secara konsisten, besar kemungkinan akan sangat bermanfaat, bagi upaya pencegahan terjadinya hubungan seksual diluar nikah, atau setidaknya mengurangi. namun semua itu kembali kepada masing-masing individu sejauh mana penghayatan dan pengamalan Kimanan dan keberagamaan mereka. Bagaimana apupun kita tidak dapat membiarkan terus-menerus generasi terjebak kearah kebebasan seksual.

Menurut hemat penulis (Ahmad Rofiq), pemahaman yang tidak membolehkan seorang laki-laki nikah dengan perempuan hamil, sementara dia bukan yang menghamilinya lebih tepat. Karena akibat hukum yang ditimbulkan, seakan-akan kebolehan tersebut member peluang kepada orang-orang yang kurang atau tidak kokoh keberagamanya, akan dengan gampang menyalurkan kebutuhan seksualnya diluar nikah. Padahal akibatnya jelas dapat merusak tatanan moral dan juga kehidupan keluarga, serta sendi keberagaman masyarakat.

Kedua, apabila pernikahan terhadap perempuan hamil dengan laki-laki yang tidak menghamilinya, tidak dapat dilangsungkan dalam batas-batas tertentu, akan menimbulkan dampak psikologis bagi bagi keluarga perempuan tersebut, dan juga bagi bayi yang dikandungya, pada saat pertumbuhan anak tersebut, yang bukan mustahil akan menjadi beban mental kepanjangan bagi dia.

BAB X

POLIGAMI: ALASAN, SYARAT DAN PROSEDURNYA

Perspektif Fikih

Istilah poligami berasal dari Bahasa Inggris “poligamy” dan disebut “ta’addadu azzaujati”dalam Hukum Islam yang berarti beristri lebih dari seorang wanita.atau seorang pria yang memiliki istri lebih dari seorang wanita.

Kedatangan Islam dengan ayat –ayat Poligami, Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan berlaku adil di antara para istri. Syarat ini di atur dalam al Qur’an surat An-nisa’ ayat 3 yang artinya:

“Dan jika kamu punya alasan lajut kamu tidak dapat bertindak secara adil kepada anak-anak yatim, maka kawinilah permpuan dari antara mereka yang sah untuk kamu, dua, tiga, empat: tapi jika kamu takut bahwa kamu tidak dapat memperlakukan mereka secara adil, maka nikahilah satu.”

Ada delapan bentuk memperbolehkan poligami menurut Abdurrahman setelah merangkum pendapat para fugaha antara lain:

1. Istri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit untuk disembuhkan.

2. Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tak dapat melahirkan.

3. Istri sakit ingatan.

4. Istri sudah lanjut usia sehingga tidak dapat lagi menjalankan kewajiban sebagai istri.

5. Istri memiliki sifat buruk.

6. Istri minggat dari rumah.

7. Ketika terjadi ledakan perempuan dengan sebab perang misalnya.

8. Kebutuhan suami beristri lebih dari satu jika tidak menimbulkan kemudaratan di dalam kehidupan dan pekerjaannya.

Perspektif UU No Tahun 1974

Kendatipun UUP Perkawinan menganut asas Monogami seperti yang terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan “seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu Poligami dibenarkan. Klausul kebolehan Poligami di dalam UUP sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan tersebut.

Dalam pasal 4 UUP diyatakan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :

a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Menyangkut Prosedur melaksanakan Poligami aturannya dapat dilihat di dalam PP No 9 Tahun 1975. Pada pasal 40 dinyatakan:

“Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan pemohanan secara tertulis kepada Pengadilan.

Sedangkan tugas Pengadilan diatur di dalam pasal 41 PP No 9 Tahun 1975 sebagai berikut:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seseorang suami kawin lagi.

b. Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri, baik lisan maupun tertulis.

c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya.

d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istr-istri dan anak mereka dengan pernyataan janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Perspektif KHI

KHI memuat masalah Poligami ini pada bagian IX dengan judul, beristri lebih dari seorang yang diungkap dari pasal 55 sampai 59 dinyatakan:

1. Beristri lebih dari seorang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.

2. Syarat utama beristri lebih dari satu orang suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari satu orang.

Syarat-syarat poligami

Untuk berpoligami dalam pasal 5 UU Perkawinan dijelaskan bahwasanya syarat – syarat yang harus dipenuhi :

1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang – undang ini harus dipenuhi syarat – syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari istri atau istri – istri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan – keperluan hidup istri- istri dan anak – anak mereka

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri – istri dan anak - anak mereka.

2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri – istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidaj ada kabara sekurang – sekurangnya 2 tahun atau karena sebab – sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Untuk membedakan persyaratan yang ada dalam pasal 4 dan pasal 5,pasal 4 disebut dengan persyaratan Alternatif artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami.Sedangkan pasal 5 adalah persyaratan Kumulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami

Di dalam bab IX mengenai beristri lebih dari satu orang pasal 55 KHI dijelaskan bahwasanya syarat – syarat suami yang akan berpoligami antara lain :

  1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri
  2. Syarat utama beristri lebih dari seorang suami harus mampu berlaku adil terhadap istri – istri dan anak – anaknya
  3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi suami dilarang beristri lebih dari seorang

Kemudian di dalam pasal 58 di sebutkan juga syarat – syarat :

1. Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat - syarat yang di tentukan pada pasal 5 undang – Undang No.1 tahun 1974 yaitu:

a. Adanya persetujuan istri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri – istri dan anak – anak mereka

2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, persetujuan istri atau istri – istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan agama

3. Persetujuan yang dimaksud dalam ayat(1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri – istrinya tidak mungin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri – istrinya sekurang – kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

Prosedur Poligami

Menyangkut prosedur pelaksanaan poligami dapat dilihat dalam bab VIII pasal 40 PP. No. 9 tahun 1975 dinyatakan :“Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari satu seorang maka wajib ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”

Pasal 41 PP.No.9 tahun 1975 Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :

  1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi,ialah:

a. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

b. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan

  1. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri , baik persetujuan lisan maupun tertulis , apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan
  2. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri – istri dan anak – anak dengan memperlihatkan :

a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yag ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja atrau

b. Surat katerangan pajak penghasilan atau

c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan

  1. Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri – istri dan anak – anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu

Hikmah Poligami

Berpoligami ini bukan wajib dan bukan sunat tetapi oleh islam dibolehkan.Karena tuntutan pembangunan dan pentingnya perbaikan tidak patut diabaikan oleh pembuat Undang – Undang dan dikesampingkan.

Hikmahnya antara lain :

ü Merupakan karunia Allah dan Rahmat NYA kepada manusia membolehkan adanya poligami dan membatasskan sampai empat saja

ü Karena itu maka Islam sebagai agama kemanusiaan yang luhur mewajibkan kepada kaum muslimin untuk melaksanakan pembangunan itu dan menyampaikan nya kepada seluruh manusia

ü Negara merupakan pendukung agama, dimana ia seringkali menghadapi bahaya peperanganhingga banyak penduduknya yang meninggal.Oleh karena itu haruslah ada badan yang memperhatikan janda – janda para syuhada’

ü Kesanggupan laki –laki untuk berketurunan lebih besar daripada perempuan

ü Adakalanya karena istri mandul atau menderita sakit yang tak ada harapan sembuhnya , sedangkan suami masih tetap berkeinginan untuk melanjutkan hidup bersuami istri,suami ingin mempunyai anak – anak sehat lagi pintar dan seorag istri yang dapat mengurus keperluan rumah tangganya

ü Ada segolongan laki – laki yang mempunyai dorongan seksual besar yang tidak puas dengan istrinya saja.

Dengan adanya system poligami dan melaksanakan ketentun poligami ini dalam lslam merupakan satu karunia besar bagi kelestariannya yang jauh dari perbuatan – perbuatan sosial yang kotor dan akhlak yang rendah dalam masyarakat yang mengakui poligami

BAB XI

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

Perspektif Fikih

Hak kewajiban suami istri, pertama kewajiban bersama antara suami dan istri. Kedua kewajiban suami terhadap istri. Ketiga kewajiban istri terhadap suami.

1. Kewajiban timbal balik antara suami dan istri

a. Dihalalkannya bagi suami menikmati hubungan fisik dengan istri demikian pula sebaliknya termasuk hubungan seksual di antara mereka berdua.

b. Timbulnya hubungan mahram di antara mereka berdua.

c. Berlakunya Hukum Pewarisan harta keduanya, segara telah berlangsungnya akad nikah.

d. Dihubungkannya nasab anak mereka dengan nasab suami.

e. Berlangsungnya hubungan baik antara kedua suami istri.

f. Menjaga penampilan lahiriah antara keduanya.

2. Kewajiban suami terhadap istrinya

a. Materi yaitu,: mahar dan nafkah sehari-hari.

b. Yang bersifat non materi yaitu: mempergauli istri sebaik-baiknya dan melaksanakan keadilan diantara istri-istri apabila nikah lebih dari satu.

3. Kewajiban istri terhadap suami

a. Bersikap taat dan patuh terhadap suami dalam segala sesuatu selama tidak merupakan hal yang dilarang Allah.

b. Memelihara kepentingan suami berkaitan dengan kehormatan harga dirinya.

c. Menghindari dari segala sesuatu yang akan menyakiti hati suami seperti bersikap angkuh, Atau menampak muka yang cemberut atau penampilan yang buruk.

Perspektif UU No 1/1974

Undang-Undang Perkawinan memeberikan aturan yang jelas berkenaan hak dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban suami istri ini di atur UUP dalam Bab VI Pasal 30-34

Pasal 30

Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Pasal 31

1) Hak dan kewajiban istri adalah seimbang dengan hak dan kedududkan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama di dalam masyarakat.

2) Masi-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

3) Suami adalah kepala keluarga dari istri ibu rumah tangga.

Pasal 32

1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetukan suami istri bersama.

Pasal 33

Suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34

1) suami wajib melindungi istrinya dan membrikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

2) Istri wajib mangatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya

3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.

Sesuai dengan prinsip perkawinan yang dikandung oleh UUP, pada pasal 31 sangat jelas disebutkan bahwa kedudukan suami istri adalah sama dan seimbang, baik kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup bermasyarakat.

Perspektif KHI

Berbeda dengan UUP, KHI mengatur masalah hak dan kewajiban suami istri ini sangat rinci, pembahasannya di mulai dari pasal 77-78 mengatur hal-hal yang umum, pasal 79 menyangkut kedudukan suami istri, pasal 80 berkenaan dengan kewajiban suami, pasal 81 tempat kediaman dan pasal 82 kewajiban suami terhadap istri yang lebih dari seorang, dan pasal 83 berkenaan dengan kewajiban istri.

Masing-masing suami-isteri jika menjalankan kewajibannya dan memperhatikan tanggung jawabnya akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan suami isteri tersebut dalam rumah tangganya.

BAB XII

HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

Harta Bersama

Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur harta kekayaan dalam Perkawinan, pada Bab VII dalam judul harta benda dalam Perkawinan. Bab ini terdiri dari tiga pasal

Pasal 35:

1. Harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dari harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

3. Jadi harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan.

Pasal85:

Adanya harta bersama dalam Perkawinan itu tidak menutupi kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.

Pasal 86:

1. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena Perkawinan.

2. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai oleh suami.

Pasal 87:

1. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menetukan lain dalam perjanjian Perkawinan.

2. Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sadaqah, dan lainya.

Pasal 88:

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 89:

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun harta sendiri.

Pasal 90:

Istrin turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya.

Pengaturan tentang bentuk kekayaan bersama di jelaskan dalam pasal 39 Kompilasi Hukum Islam:

1. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.

2. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak, dan surat-surat berharga.

3. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

4. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

BAB XIII

ASAL-USUL ANAK, PEMELIHARAAN DAN TANGGUNGAN ANAK BILA TERJADI PERCERAIAN

I. Asala Usul Anak

Masalah anak sah diatur di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pada pasal:

Pasal 42

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagi akibat Perkawinan yang sah.

Pasal 43

1. anak yang dilahirkan di luar Perkawinan hanya mempunyai hubungan dalam atau sebagi akibat Perkawinan yang sah.

Pasal 43

  1. anak yang dilahirkan di luar Perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
  2. kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

pasal 44

  1. seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut.
  2. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Perspekti KHI

Di dalam Kompilasi Hukum Islam memberikan aturan-aturan yang terdapat dalam pasal:

Pasal 99

Anak sah adalah:

  1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat Perkawnan yang sah.
  2. Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Pasal 100

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pemeliharaan Anak

Perspektif KHI

Dalam Kompilasi Hukium Islam dalam Bab XIV Pasal 98 yang berbunyi yaitu

1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adaah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya meninggal.

Perspektif UU No 1 TAHUN 1974

Undang –undangNomar 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengemukakan dalam Bab X Pasal 45-49, dengan tajuk hak dan kewajiban antar orang tua dan anak Pasal 45:

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.

Pasal 46:

1. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.

2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47:

1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak di cabut dari kekuasaannya.

2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

Tanggung Jawab Terhadap Anak Bila Terjadi Perceraian

Perspektif KHI

Kompilasi mengaturnya secara lebih rinci dalam Pasal 105 sebagai berikut Dalam hal terjadinya perceraian:

a. Pemeliharaan anak yang belum Mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah Mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya.

c. Biaya pemeliharaaan ditanggung oleh ayahnya.

BAB XIV

PERWALIAN

Dalam ketentuan umum pasal 1 Kompilasi huruf h dikemukakan bahwa Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempnyai kedua orang tua,atau oarng tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.dengan demikian wali adalah orang yang diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum demi kepentingan anak yang tidak memiliki kedua orang tua, atau kedua orang tuanya tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Di dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 dan kompilasi. dalam Bab XI Pasal 50-54 mengatur tentang Perwalian.

Pasal 50:

1. Anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan wali.

2. Perwalian itu mengenai pribadi anakyang bersangkutan maupun harta bendanya.

Pasal 51

1. Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan dua oarng saksi.

2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.

3. Wali wajib mengurus anak yang berada di bawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati Agamanya dan Kepercayaan anak itu.

4. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaanya itu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak itu.

5. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Dalam Kompilasi masalah Perwalian diatur dalam Pasal 107 sampai dengan Pasal 112, yang secara garis besar mempertegas ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Perkawinan.

Pasal 107:

1. Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun atau belum pernah melangsunghkan perkawinan.

2. Perwalian meliputi Perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.

3. Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.

4. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.

Pasal 109:

Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan Perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.

Pasal 110 Kompilasi:

1. Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agar, pendidikan dan keterampilannya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.

2. Wali dilarang mengikat, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah Perwaliannya, kecuali perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah Perwalianya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.

3. Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah Perwalinnya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat dan kelalaian atau kesalahan.

4. Denga tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (4) Undang-Undang No 1 Tahun 1974, pertanggung jawaban wali tersebut ayat(3) harus di buktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap tahun sekali.

Tentang berakhirnya Perwalian dalam Kompilasi dinyatakan dalam Pasal 111 yaitu:

1. Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah berumur 21 tahun atau telah kawin.

2. Apabila Perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwewenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah Perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.

BAB XV

PUTUS PERKAWINAN KARENA KEMATIAN,PUTUSAN PENGADILAN, TATA CARA DAN AKIBATNYA

Putusnya Perkawinan

Masalah putusnya Perkawinan serta akibatnya, Undang- Undang No 1tahun 1974 mengtur dalam Bab VIII Pasal 38 sampai 41. Tata cara perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 Pasal 14 sampai dengan Pasal 36,

Pasal 38 UU No 1 1974 mengytakan: Perkawinan dapat putus karena:

a. Kematian

b. Perceraian

c. Atas keputusan pengadilan.

Pasal 39

1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pibhak.

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

3. Tata cara Perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalm Peraturan Perundangan tersendiri.

Pasal 40:

1. Gugatan Perceraian diajukan kepada Pengadilan.

2. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat(1) pasal ini diatur dalam Peraturan Perundangan tersendiri.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan putusnya Perkawinan dan akibat hukumnya,terasuk di dalamnya teknis pelaksanaannya agar tindakan Perceraian itu dilakukan secara benar.

Pasal 177:

Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya Perkawinan.

Pasal 118:

Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.

Pasal 119:

1. Talak ba’insughrah adalah talak yanag tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.

2. Talak ba’in sughra sebagaiman tersebut pada ayat(1) adalah:

a. Talak yang terjadi qabla al dukhul.

b. Talak dengan tebusan atau khulu’.

c. Talak yang di jatuhkan oleh pengadilan.

Pasal 120:

Talak ba’in kubrah adalah talak talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’dah al dukhul dan habis masa iddahnya.

Pasal 121:

Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang sedang suci dan tidak dicampuri pada waktu suci tersebut.

Pasal 122:

Talak bid’i adalah talak yang dilarang, talak itu talak yang dijatuhkan kepada istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

Akibat putusnya perkawina

Akibat Putusnya Perkawinan karena Perceraian ialah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata-mata karena kepentingan anak-anak, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberikan keputusannya.

b. Bapak yang bertangung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk meberikan biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajban bagi bekas istrinya.

Ketentuan Pasal 41 UUP tersebutu memang lebih bersifat global, dan Kompilasi merinci dalam empat kategori, yaitu : akibat cerai talak, cerai gugat, akibat khulu’, akibat li’an.

1. Akibat talak

Menurut ketentuan Pasal 149 Kompilasi dinyatakan sebagai berikut: bilaman Perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya,baik berupa uang maupun benda, kecuali bekas istri tersebut qablu al dukhul.

b. Memberikan nafkah maskawin dan kiswah (tempat tinggal dan pakain) kepada bekas istri selam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al duhul.

d. Memberikan biaya hadhana untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun

2. Akibat Perceraian (cerai gugat)

Akibat Perceraian karena perceraian –cerai gugat- diatur dalam Kompilasi pasal 156:

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu

2. Ayah

3. Wanita-wanita dalam gari lurus ke atas dari ayah

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurtut garis samping dari ibu.

6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak untuk memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadahnah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat yang lain yang memppunyai hak hadanah pula.

d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya anak itu sampai dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri.

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama membeikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b),(c),(d).

f. Pengadilan dapat pula dengan, mengingat kemampuan ayahnnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut padanya.

3. Akibat li’an

Pasal 162 kompilasi menjelaskan “ bilah mana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.

4. Akibat ditnggal mati oleh suami

Kompilasi mengintrodusir pembagian harta bersama sebelum harta tinggalan suaminya itu di bagi menurut ketentuan pembagian warisan yang akan dibicarakanpada Bab III Pasal 157 Kompilasi menyatakan: harta dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 96 dan 97”

Pasal 96:

1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

2. Pembagian harta ,bersama bagi seorang suami atau istri atau suami yang hilang, harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

Karena Pasal 97 berbicara tentang cerai hidup akan tetapi tidak membicarakan berapa lama seorang istri harus menunggu apabila suaminya dalam keadaan mafqud atau hilang tidak diketahui berita hidupnya atau matinya. Untuk menetukan kepastian hidup atau matinya si suami tersebut, ada dua pertimbangan hukum yang dapat dipegang:

1. Berdasarkan bukti otentik yang dapat diterima secara syar’i dan rasional.

2. Berdasarkan waktu lamanya suami itu meninggalkan si istri.

Bab XVI

MASA IDDAH DAN RUJUK,TALAK

Dalam peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 masalah ini dijelaskan dalam Bab VII pasal 39. sementara dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada pasal 153,154, dan 155. pasal 153 ayat (1) Kompilasi menyatakan: “Bagi seorang istri yang qabla al-duhul dan perkawinanya putus bukan karena kematian suami”. (Lihat pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975).

Untuk lebih lanjutnya pemakalah telah merangkum dan menjelaskannya dalam makalah ini, agar bisa dipahami para pembaca. Maka dalam makalah ini kami akan mencoba memaparkan tentang; Masa iddah (masa tunggu), dan permasalahan

Bagi seorang istri yang putus perkawinanya dari suaminya, berlaku baginya waktu tunggu atau masa ‘iddah kecuali apabila seorang istri dicerai suaminya sebelum berhubungan.baik karena kematian, perceraian, atau atas keputusan pengadilan. Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dituangkan dalam pasal 11:

  1. bagi seorang wanita yang putus perkawinanya berlaku jangka waktu tunggu.
  2. tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat 1 akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Dalam peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 masalah ini dijelaskan dalam Bab VII pasal 39. sementara dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada pasal 153,154, dan 155. pasal 153 ayat (1) Kompilasi menyatakan: “Bagi seorang istri yang qabla al-duhul dan perkawinanya putus bukan karena kematian suami”. (Lihat pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975). Ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Ahzab, 33:49.

pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎhŽ| ur %[n#uŽ| WxŠÏHsd ÇÍÒÈ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.

Adapun macam-macam iddah dapat diidentifikasi sebagai berikut:

  1. Putus Perkawinan karena ditinggal mati suami

Pasal 39 ayat (1) huruf a, PP No.9/1975 menjelaskan : ”apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari. Ketentuan ini dalam Kompilasi diatur dalam pasal 153 ayat (2) huruf a. Bedanya dalam kompilasi merincinya, yaitu walaupun qabla al-dukhul. Ini didasarkan kepada QS. Al-Baqarah, 2:234:

tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Ketentuan tersebut di atas berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Apabila istri tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu bagi mereka adalah sampai ia melahirkan (ps. 39 ayat (1) huruf c, PP. dan pasal. 153 ayat (2) huruf d, KHI). Firma-Nya dalam surat al-Thalaq, 65:4.

Menurut ibn Rusyd, berpendapat bahwa masa ‘iddah waita tersebut adalah sampai melahirkan, meskipun selisih waktu kematian suami hingga ia melahirkan hanya setengah bulan, atau kurang dari 130 hari.

  1. Putus Perkawinankarena perceraian

Istri yang dicerai suaminya ada beberapa kemungkinan waktu tunggu, sebagai berikut:

  1. Dalam keadaan hamil

Apabila istri dicerai suaminya dalam keadaan hamil maka ‘iddadhnya sampai ia melahirkan kandunganya (QS.al-|Thalaq, 65:4 jo.ps.39 ayat (1) huruf c, PP. jo. ps. 153 KHI).

  1. Dalam keadaan tidak hamil
    1. Apabila istri dicerai sebelum terjadi hubungan kelamin, maka tidak berlaku masa ‘iddah baginya (QS, al-Ahzab, 33:49).
    2. Apabila ia dicerai suaminya setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul).
    3. Bagi yang masih datang bulan, waktu tunggunya ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari (ps.39 ayat (1) b.PP. jo. ps. 153 ayat (2) huruf b KHI).
    4. Bagi yang tidak atau belum berdatang bulan masa ‘iddahnya tiga bulan atau 90 hari. (ps.39 ayat (1) b.PP. jo. ps. 153 ayat (2) huruf b KHI). Tidak datang bulan disini maksudnya adalah karena wanita tersebut sudah memasuki masa bebas haid atau monopouse.
    5. Bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani ‘iddah tidak haod karena menyusui maka ‘iddahnya tiga kali waktu suci (ps. 153 ayat (5) KHI.
    6. Dalam keadaan pada ayat (5) tersebut bukan karena meyusui, maka ‘iddahnya selama satu tahhun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka ‘iddahnya menjadi tig kali suci.
  2. Putus perkawinan karena khulu’, fasakh dan li’an.

Waktu ‘iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu’ (cerai gugat atas dasar tebusan atau ‘iwadl dari istri), fasakh (putus perkawinan misalnya karena salah satu murtad atau sebab lain yang seharusnya dia tidak dibenarkan kawin), atau li’an maka waktu tunggu berlaku seperti ‘iddah talak.

  1. Istri ditalak raj’I kemudian ditinggal mati suami dalam masa ‘iddah

Apabila istri tertalak raj’i kemudian dalam waktu ‘iddah sebagaimanayang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka ‘iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari, atau 130 hari, terhitung saat matinya bekas suaminya.

Jadi pada masa ini, masa ‘iddah yang telah dilalui pada saat suaminya masih hidup tida dihitung dari saat kematian. Sebab keberadaan istri yang dicerai selama menjalani masa ‘iddah, dianggap masih terikat dalam perkawinan. Karena memang bekas suaminya itulah yang paling berhak unutuk merujuknya, selama dalam masa ‘iddah (al-Baqarah, 2:228).

  1. Tentang waktu hitungan masa ‘iddah

Sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu bahwa salah satu prinsip atau asas yang ditekankan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia adalah mempersulit terjadinya perceraian, maka perceraian hanya dapat dilakukan disidang Pengadilan Agama. Setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (ps.115 KHI). Oleh karena itu, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami (ps.39 ayat (3) PP. jo. ps. 153 ayat (4) KHI).

Diantara hikmah terpenting diaturnya masalah ‘iddah ini, selain untuk mengetahui keadaan rahim, demi mnetukan hubungan nasab anak, memberi alokasi waktu yang cukup untuk merenungkan tindakan perceraian, bagi istri yang ditinggal mati suaminya adlah untuk turut berduka cita, atau berkabung dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah. Kompilasi pasal 170 menegaskan:

  1. istri yang ditinggal mati suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa ‘iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.

Anjuran berkabung demikian, meskipu hukum islam tidak secara khusus mengaturnya bagi laki-laki yang ditinggal mati istrinya, tentu tidak dapat dipahami hanya untuk pihak istri yang ditinggal mati suaminya. Karena itu, Kompilasi mencoba menegaskan dalam pasal 170 ayat (2), “suami yang ditinggal mati istrinya, melakukan masa berkabung menurut kpatutan”. Jadi dalam masalah ini, tidak semata mata persoalan yuridis formal, namun lebih menekankan kepada aspek rasa, toleransi, dan kepantasan. Dan inipun wajar dan perlu mendapat perhatian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar