Rabu, 23 Juni 2010

Manfaat Putusan Hakim Peradilan Agama


BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

    Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaaannya itu-Pasal 29 ayat (2) UUD 1945-

    Tafsiran Profesor Hazairin semasa hayatnya sebagai Guru Besar Hukum Islam atas pasal 29 ayat (2) adalah: ”Negara Republik Indonesia wajib menjalankan dalam makna menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dipeluk bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara negara”. Artinya, penyelenggara negara wajib menjalankan syariat agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia untuk kepentingan pemeluk agama yang bersangkutan. (1)

    Mengingat hampir 88,2 % penduduk Indonesia beragama Islam (2) dan Islam merupakan agama yang diakui secara sah maka dalam rangka memenuhi kewajibannya itu negara membentuk suatu lembaga Badan Peradilan Agama yang mempunyai lingkup dan kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman(3) yang kemudian terus berkembang hingga menjadi Peradilan Agama dengan berlakunya Undang-Undang no. 7 Tahun 1989 . Kehadiran lembaga Peradilan Agama ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi umat Islam dalam hal penyelesaian sengketa dan penegakan syariat Islam yang bersifat formal yuridis.





  1. Perumusan Masalah

    Dari segi historis sesungguhnya keberadaan Pengadilan Agama sudah berlangsung lebih dari seratus tahun yakni sejak diresmikan melaui Staasblad Tahun 1882 No. 152 (4) Kemudian terus berkembang menjadi Peradilan Agama melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dimana kewenangannya meliputi memeriksa, mengutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang Islam di bidang:

    1. Perkawinan
  1. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam
    1. Waqaf dan shadaqah

    Dan kini pengadilan agama pun kembali bertransformasi dengan turut mengadili sengketa ekonomi syariah berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. (5)

    Melihat usia pengadilan agama yang serta kekuasaan dan kewenangannya yang begitu luas maka dapat dipastikan bahwasanya produk-produk putusan hakim peradilan agama telah memberikan manfaat yang amat banyak bagi kemaslahatan ummat. Oleh karena itu melalui tulisan ini kami selaku penulis akan menganalisis terkait manfaat apa saja yang diperoleh oleh umat Islam melalui putusan hakim peradilan agama.

    Namun, mengingat cukup banyaknya putusan-putusan di lingkungan peradilan agama sebagimana dicantumkan dalam Pasal 49 UU No. 7/1989 maka kami menitikberatkan pada manfaat putusan hakim peradilan agama di bidang Perkawinan Islam.

  1. Tujuan Penulisan

    Tujuan penulisan kali ini adalah untuk mengetahui manfaat putusan hakim peradilan agama dalam bidang Perkawinan Islam.

  1. Ruang Lingkup

    Analisis dan evaluasi hanya akan ditujukan pada putusan hakim peradilan agama dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam masalah:

        1. Izin Menikah
        2. Izin Poligami
        3. Gugatan Cerai
        4. Rujuk

    Sementara itu masih banyak problema-problema lain selain yang disebutkan diatas seperti Hadhanah, pindah agama dan lain-lain yang kurang begitu menonjol.

  1. Metodologi Penelitian

Metodologi yang digunakan adalah penelitian kepustakaan

  1. Sistematika Penyajian Dalam ”Manfaat Putusan Hakim Peradilan Agama ” adalah :

    BAB I. PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang
    2. Perumusan Masalah
    3. Tujuan Penulisan
    4. Ruang Lingkup
    5. Metodologi
    6. Sistematika Kajian

    BAB II. ISI

      1. Pengertian
          1. Peradilan Agama
          2. Hakim
          3. Putusan
      1. Dasar Hukum
          1. Berdasarkan Al-Qur’an
          2. As-Sunnah
          3. Menurut hukum positif

      1. Analisis
      1. Hukum Islam dalam Praktek Peradilan Agama di Indonesia
          1. Wewenang Peradilan Agama Indonesia
          1. Pengambilan Keputusan dan Manfaat Keputusan Hakim

    BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
































BAB II

PEMBAHASAN


  1. Pengertian

    Memberikan pengertian terhadap ”putusan hakim peradilan agama” tidaklah mudah, hal ini terkait dengan sifat putusannya yang istimewa karena mengandung tiga unsur yakni ”putusan”, ”hakim”, dan ”peradilan agama”. Tiga hal tersebut diatas harus dipahami maknanya masing-masing agar didapat makna yang komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan ”putusan hakim peradilam agama” untuk itu kali ini terlebih dahulu akan dibahas pengertian unsur-unsur tersebut satu per satu

    1. Peradilan agama

    Pengadilan agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari keadilan dan kebenaran yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu majelis Hakim atau Mahkamah(6). Oleh karena itu. Peradilan Agama dinamakan Mahkamah Syar’iyah yang berarti Pengadilan atau Mahkamah yang tugasnya menyelesaikan perselisihan Hukum Agama atau Hukum Syaraq. Karenanya peradilan agama hanya khusus berlaku bagi orang yang beragama Islam saja.

    Berdasarkan UU 7 Tahun 1989 dijelaskan bahwa kewenangan pengadilan agama di Indonesia hanya mencakup penegakan syariat Islam yang sifatnya perdata saja.

    1. Hakim

    Hakim adalah penjabat yang berwenang menghukumi suatu tindak pidana atau suatu pertengkaran dengan menjatuhi hukuman kepada pelaku pidana atau dengan memerintahkan kepada pihak yqang terkalahkan untuk mengembalikan hak kepada pihak yang terkalahkan untuk mengembalikan hak kepada pihak yang sebenarnya dan menolak kezhaliman(7). Oleh karena kewenangan peradilan agama di Indonesia hanya mencakup segi perdata saja, maka hakim disini bertugas untuk menjatuhkan hukuman pada pihak yang bersengketa perdata saja.

    1. Putusan

    Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius) (8)

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan ”putusan hakim peradilan agama” adalah pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di lingkungan Peradilan Agama yang berkekuatan hukum yang sah dalam hal sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan kewenangan Peradilan Agama sebaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 tahun 2006 ”

  1. Dasar Hukum

    Dasar Hukum Peradilan Agama dan pentingnya keputusan hakim antara lain:

    1. Dasar Hukum Al-Qu’ran
      1. QS. Al-Baqarah (1): 30

      Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: " Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ". Mereka berkata:" Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? "Tuhan berfirman:" Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui ".(9)

      1. QS. Al-Baqarah (1): 188

      Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.(10)


      1. QS. Al-Baqarah (1): 231

      Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketah (11)

      1. QS. Ali Imran (3) : 104

      Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.(12)

      1. QS. An-Nisa (4) : 58

      Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(13)

      1. QS. An-Nisa (4) : 59

      Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(14)

      1. QS. Al-Maidah (5): 8

      Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(15)

      1. QS. Al-Maidah (5): 44

      Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (16)

      1. QS. Al-Maidah (5): 45

      Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (17)

      1. QS. Al-Maidah (5): 47

      Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (18)

      1. QS. Al-Maidah (5): 48

      Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.(19)

      1. QS. Hud (11) :85

      Dan Syuaib berkata: "Wahai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.(20)

      1. QS.An-Nahl (16) : 85

      Dan apabila orang-orang zalim telah menyaksikan azab, maka tidaklah diringankan azab bagi mereka dan tidak pula mereka diberi tangguh.(21)

      1. QS. Shaad (38) : 26

      Wahai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.(22)

    1. Dasar Hukum Hadist
        1. ”Warta dari Abdullah bin ’Amr menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: ”Tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah lapang,kecuali mereka mengangkat pimpinan salah satu seorang dari mereka” (HR Ahmad) (23)

    1. Menurut Hukum Positif (24)
        1. Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa, Madura sedangkan untuk di luar daerah Jawa/Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg
        2. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah menjadi UU No. 35 Tahun 1999 dan diubah lagi dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
        3. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yang memuat tentang Acara Perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara di mahkamah Agung RI
        4. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam UU ini diatur tentang Susunan dan Kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Peradilan Umum
        5. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan tersebut
        6. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
        7. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri atas 3 buku, yaitu hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.





  1. Analisis
  1. Hukum Islam dalam Praktek Peradilan Agama di Indonesia

    Peradilan agama dalam hubungannya dengan hukum Islam merupakan lembaga yudikatif yang merupakan suatu bentuk penjabaran lebih lanjut dari aktivitas keulamaan dalam masyarakat. Oleh karena itu ia memiliki tanggung jawab terhadap seluruh penegakan hukum Islam melalui (25) :

    1. reintroduksi Islam yang dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran agar masyarakat bertingkah laku menurut hukum melalui jalan dakwah
    2. hukum materiil yang menjadi substansi transformasi intelektual pada setiap lembaga pendidikan Islam
    3. penyelenggaraan hukum keluarga
    4. layanan fatwa hukum dan;
    5. manajemen harta agama (25)

    Maka dapat disimpulkan bahwasanya peradilan agama menerima kapasitas sebagai tonggak penegak hukum Islam

  1. Wewenang Peradilan Agama Indonesia (26)

    Sebelum Kemerdekaan:

    • Staatsblaad 1882 No. 152 tidak disebutkan secara tegas kewenangan PA, hanya disebutkan bahwa wewenang PA itu berdasarkan kebiasaan dan biasanya menjadi ruang lingkup wewenang PA adalah: hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan, talak, rujuk, wakaf, warisan.
    • Staatsblaad 1937 No. 116 (Jawa dan Madura) : “PA hanya berwenang memeriksa perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan perkara-perkara lain yang berkenaan dengan nikah, talak dan rujuk.

    Pada masa ini wakaf, tuntutan nafkah, hadhanah, pemecatan wali nikah, perkara kewarisan, hibah wasiat, sadakah bukan kewenangan PA.

Setelah Kemerdekaan:

    PP No. 45 Tahun 1957: PA berwenang mengadili perkara nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, mahar, maskan (tempat kediaman), mut'ah, hadanah, waris, wakaf, hibah, sadakah, baitul maal. SK. Menag No. 6 Tahun 1980: Nama untuk peradilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Agama. Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Agama. Pasal 49 s/d 53 UU No. 7 Tahun 1989: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakaf dan sadakah.

    Kewenangan PA saat ini:

    Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

  • perkawinan;
  • waris;
  • wasiat
  • hibah;
  • wakaf;
  • zakat;
  • infaq;
  • shadaqah; dan
  • ekonomi syari'ah.
  1. Pengambilan Keputusan dan Manfaat Keputusan Hakim

    Untuk dapat menjalankan fungsi-fungsinya tersebut, maka dibutuhkan perangkat hukum perspektif yang merujuk pada rumusan Al-Qur’an dan Sunnah agar nantinya dapat dikeluarkan produk hukum berupa putusan yang dapat dijadikan alat penyelesaian sengketa sekaligus sebagai dasar bagi hakim-hakim lain dalam mengeluarkan putusan.

      1. Syarat-syarat menjadi hakim

      Tak dapat dipungkiri bahwasanya tegak atau tidaknya keadilan tergantung pada diri pribadi orang tersebut baik, maka keadilan pun akan tegak dan dapat memberikan manfaat bagi orang banyak akan tetapi apabila diri pribadi penegak hukum itu buruk, maka keadilan tidak akan tegak. Oleh karena itu dibuatlah suatu kriteria untuk menjadi hakim Peradilan Agama, yaitu (27) :

    • Beragama Islam, dewasa, berakal dan adil
    • Memahami ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasul
    • Mengetahui Ijma dan Qiyas
      1. Ihwal pengambilan keputusan

      Dalam memutuskan suatu perkara, sesungguhnya hakim mendasarkan segala keputusannya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Namun, apabila ada suatu perkara yang lukisannya tidaj tergambar jelas dalam Al-Qur’an dan Hadist maka hakim harus menggunakan akalnya (Ar-Ra’yu ) atau ijtihad. Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dengan menggunakan segala daya dan dana serta rasio untuk mempelajari Hukum Islam dari sumbernya yang asli yakni Al-Qur’an dan Al-Hadist, kemudian mengalirkan garis hukum bau daripadanya atau untuk mencapai tujuan tertentu menyusun suatu pendapat mengenai atau berhubungan dengan suatu Tata Hukum (28). Hasil ijtihad ini nantinya bisa menjadi keputusan hakim.

      Dalam hal memutuskan suatu perkara, hakim harus memperhatikan hal-hal berikut ini (29)

        1. Keputusan hakim harus berdasarkan pengetahuannya
        2. Keputusan hakim tidak boleh menghalalkan apa yang haram dan mengharamkan apa yang halal
        3. Hakim dilarang memutuskan perkara dalam keadaan marah


      1. Manfaat umum putusan hakim peradilan agama

      Secara umum manfaat dari putusan hakim peradilan agama adalah dapat diselesaikannya sengketa-sengketa yang terkait dengan hal-hal yang terkait dengan syariat-syariat hukum perdata Islam seperti perkawinan, waris, waqaf dan sebagainya dengan berdasarkan pada asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

      1. Contoh Kasus Hakim Peradilan Putusan Peradilan Agama

      Kebutuhan umat Islam yang semakin besar akan penyelesaian perkara-perkara yang terkait bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah menjadikan putusan hakim Peradilan Agama sebagai instrument penting penegakan hukum dalam rangka mencapai keadilan serta kebermanfaatan bagi pihak-pihak yang bersengketa pada khususnya maupun bagi umat Islam secara keseluruhan. Untuk itu pada pembahasan kali ini kami menghadirkan beberapa kasus di bidang hukum pernikahan agar memudahkan analisa terhadap putusan hakim Peradilan Agama

    1) Izin Menikah/Wali

      Kedudukan wali dalam hukum perkawinan Islam memiliki kedudukan yang amat penting karena ia merupakan slah satu rukun dari yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita agar pernikahan dapat dilangsungkan. Namun dalam kenyataan sekali banyak ditemukan permasalahan perihal wali seperti:

      Orang tua wanita (wali) tidak memberi izin

    • Wali nikah berlainan agama dengan calon mempelai wanita, sedangkan calon memperlai wanita baeragama Islam
    • Wali bertempat tinggal jauh dari tempat dilangsungkan perkawinan
    • Wali tidak cakap tidak mampu bertindak sebagai wali

      Berikut ini merupakan salah satu putusan hakim Peradilan Agama yang menyelesaikan sengketa wali :

      Pengadilan Agama Banda Aceh Nomor 49/1978 tanggal 15-03-1978

      Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh Nomor 30/1978 tanggal 1 Juni 1978 (30)

      a. Analisis:

      1. Putusan Pengadilan Agama ini berhubungan dengan kasus seorang wanita yang telah beragama Islam dan menikah dengan laki-laki yang beragama Islam sedangkan wali (ayah kandung) tersebut masih tetap beragama Hindu

      2. Hakim dalam masalah ini menerapkan kaidah :

      • Seorang wali gugur kewenangannya untuk dapat member izin atas pernikahan anaknya, karena dia beragama lain, sedangkan yang menikah beragama Islam.
      • Hak perwalian orang tua gugur bila dia beragam lain sedangkan anaknya beragama Islam (QS. An-Nisa ayat 141)
      • Pemerintah adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali (Ianah al- ThalibinJuz III. hal. 314)

      3. Pengadilan Tinggi Agama setelah menerima atas banding dari wali perempuan, menguatkan putusan tersebut

      b. Manfaat Putusan Hakim:

      Pada kasus ini, putusan hakimperadilan agama memberikan kepastian hukum bagi mempelai wanita terkait siapa yang seharusnya menjadi wali dalam pernikahannya sehingga ia bias tetap melangsungkan pernikahan walaupun sang ayah berbeda agama dengannya yakni dengan diwakili oleh wali hakim.

      2) Izin Poligami

      UU No. 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa azas perkawinan adalah monogami. Namun terhadap azas tersebut masih dapat dikecualikan, dalam artian poligami diperbolehkan apabila syarat-syarat yang ditentukan di dalam UU tersebut dapat dipenuhi. Terkait hal ini hakim Peradilan Agama berperan sebagai pemberi keputusan atas boleh atau tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami.Berikut ini contoh keputusannya:

      Penetapan Pengadilan Agama Sijunjung No. 93/1978 tanggal 5 Oktober 1979(31)

      a) Analisis:

        Pemohon dalam positanya mengemukakan alas an berpoligami karena telah berpacaran kurang lebih dua bulan dengan mengadakan perjanjian akan melangsungkan pernikhan yang sudah disetujui oleh kedua belah pihak.

        Pertimbangan hakim Peradilan Agama adalah alas an pemohon bertentangan dengan syarat-syarat izin poligami, pemohon tidak mungkin dapat berlaku adil karena penghasilannya amat kecil. Oleh karenanya diputuskan: menolak syarat-syarat poligami yang diajukan oleh Pemohon dan hakim tidak member izin poligami kepada pemohon

      b) Manfaat putusan hakim:

        Dalam kasus diatas telah tampak bahwasanya putusan hakim peradilan agama telah melindungi hak-hak istri untuk tidak dipoligami apabila tidak ada alas an yang tepat bagi suami untuk melakukannya.

    3) Gugatan Cerai dan Cerai Talak

      Meskipun diperbolehkan dalam namun perceraian merupakan hal yang paling dibenci oleh Allah Swt. Oleh karenanya apabila sepasang suami istri ingin bercerai harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Pihak istri dapat mengajukan gugatan cerai dengan alasan pihak suami melanggar perjanjian ta’lik talak. Namun dalam gugatan perceraian sering terdapat perbedaan pendapat antara pihak yang bertitik tolak dari semangat dan memperkecil jumlah perceraian dengan pihak yang bertitik tolaj dari pemikiran bahwa pelanggran ta’lik talak secara mutlak dapat diterima sebgai dasar perceraian. Berikut ini merupakan putusan hakim terkait ta’lik talak:

      Mahkamah Agung Nomor 25 K/AG/1979, tanggal 12 Juni 1980 (32)

    1. Analisis
      1. .Putusan Mahkamah Agung ini berhubungan dengan masalah cerai
      2. . Menurut kaidah ta’lik talak isteri dapat meminta cerai dari suami kalau ta’lik talak itu dilanggar
      3. . a. Dalam kasus ini ada tiga dasar/alasan bagi isteri untuk mengajukan gugatan cerai:
        • Adanya pertikaian terus menerus yang sulit untuk diperbaiki lagi sehingga mengganggu kehidupan rumah tanggabaik lahir maupun batin.
        • Suami kawin lagi pada tahun 1977, padahal sesudah berlakunya UU No. 1/1974 kalau suami kawin lagi ia harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam pasal 3-5 UU Nomor 1 tahun 1974 jo pasal 40-44 No.9/1975, antara lan: ada persetujuan isteri, ada kemampuan untuk menjamin keperluan istri dan anak-anak dan sebagainya, tetapi dalam kenyataannya kondisi ekonomi rumah tangga mereka berada dalam keadaan memprihatinkan
        • Ta’lik Talak yang dilanggar adalah: suami tidak memenuhi kewajibannya memberi nafkah kepada istrinya selam 16 bulan.

        b. Pengadilan Agama mengabulkan gugatan cerai isteri dengan menyatakan jatuhnya talak satu khul’i, yaitu talak yang terjadi karena pelanggaran perjanjian perkawina. Dengan adanya ’iwadh, mereka tidak boleh rujuk tetapi dapat kawin kembali. Putusan hakim peradilan agama ini kemudian diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung No. 25K/AG/1979 itu merupakan peringatan bagi para suami

    1. Manfaat putusan

      Pada kasus ini putusan peradilan agama bermanfaat untuk memberikan peringatan bagi suami agar memperhatikan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga.

  1. Rujuk

    Seorang suami yang telah menceraikan istrinya, namun kemudian ingin rujuk, maka ucapan rujuk tersebut harus dilakukan didepan saksi dan KUA akan tetapi sering terjadi rujuk tanpa persetujuan istri. Hal ini menjadi masalah apalagi hal tersebut dilakukan suami setelah lewat masa iddah. Berikut ini contoh putusannya:

    Pengadilan Agama (PA) Padang Panjang Nomor 811/1986 tanggal 19 Mei 1966 (33) :

      1. Analisis
    1. Dalam putusan PA Padang Panjang ini terkandung dua permasalahan:
        1. Rujuk tanpa persetujuan istri
        2. Rujuk melampaui masa iddah berdasar sumpah istri.

      Suami melakukan rujuk dengan mendatangi istri ke tempat kediamannya, dan menurut istri dia tidak melanggar lafaz rujuk yang diucapkan suami. Lagi pula sekiranya benar ada rujuk pada 8 April 1966, sudah lewat masa iddah, dan istri sudah kawin dengan lelaki lain pada tanggal 8 April 1988

    1. Kaidah hukum yang diterapkan hakim dalam putusan ini adalah bahwa rujuk yang dilakukan sesudah lewat masa iddah tiga kali quru yang kebenarannya dibuktikan berdasar istri, tidak sah dan batal demi hukum
    2. Putusan ini tepat. Apalagi isteri sudah kawin lagi dengan lelaki lain. Sebenarnya dengan adanya sangkalan istri bahwa rujuk dilakukan sudah lewat masa iddah sudah merupakan isyarat ketidaksetujuan dirujuki suami. Sesuai dengan pasal 167 Kompilasi Hukum Islam, salah satu syarat formil keabsahan rujukan adalah ”persetujuan” istri. Selain daripada itu, rujuk tanpa persetujuan isteri tidak dapat dipaksakan dan dieksekusi.
      1. Manfaat

      Manfaat putusan hakim peradilan agama pada kasus ini adalah menjamin kepastian hukum terhadap sang mantan istri. Dominasi dan superioritas suami dalam rujuk harus ditanggalkan dengan cara memproporsionalkannya dengan hak istri untuk menyetujui atau menolak rujuk dari suami.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

          1. Kesimpulan

    Manfaat putusan hakim peradilan agama dalam ruang lingkup hukum pernikahan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara perkawinan dengan berpegang pada prinsip keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.













DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an

    Ali, Daud. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada: 2006

    Badan Pembinaan Hukum Nasional. Analisa dan Evaluasi Tentang Yurisprudensi Peradilan Agama. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1994

    Gani, Abdul.Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia.Jakarta: Gema Insani Press, 1994

    Masyhur, Kahar. Fikih Sunnah Pengadilan/ Warisan. Jakarta: Kalam Mulia, 1991

    Rachman, Fatchur. Hadist-Hadist Peradilan Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1977

    Ramulyo, Idris. Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama.Jakarta: IND-HILL.CO, 1991

    Rujukan Internet:

Sukoharjo. ”Kewenangan Peradilan Agama”. http://www.sukohardjo.go.id/. (12 April 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar