Rabu, 23 Juni 2010

PUTUSAN Nomor 42/PUU-VI/2008 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN
Nomor 42/PUU-VI/2008
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada
tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan
Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2] Bambang Sugeng Irianto, DP/Jamal, umur 46 tahun, lahir di Brebes
tanggal 7 Februari 1962, agama Islam, pekerjaan Swasta, beralamat di Jalan
Kartini Nomor 8 Kota Kediri, Jawa Timur;
Selanjutnya disebut sebagai ................................................................ Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan dari Pemohon;
Mendengar keterangan dari Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti dari Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon, telah mengajukan permohonan dengan
surat permohonannya bertanggal 3 November 2008 yang diterima dan terdaftar
di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan
Mahkamah) pada tanggal 13 November 2008, dengan registrasi Perkara Nomor
42/PUU-VI/2008, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah
pada tanggal 9 Desember 2008, mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
2
I. KEWENANGAN MAHKAMAH
1. Bahwa Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut Undang-Undang Dasar
1945 1945) menyatakan, “Mahkamah Kontitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;”
2. Bahwa Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (selanjuntya disebut UU MK) bebrunyi,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terkahir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
b. ...dan seterusnya;
3. Bahwa oleh karena objek permohonan Pemohon pengujian materiil ini
adalah materi muatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(selanjutnya disebut KUHP) terhadap UUD 1945, maka berdasarkan
landasan hukum dan hal-hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk melakukan pengujian materiil tersebut;
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK juncto Yurisprudensi
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 006/PUU-III/2005
Pemohon adalah warga negara Indonesia yang hak konstitusionalnya
yang diberikan/dijamin UUD 1945 telah dirugikan oleh berlakunya ayat,
pasal, dan/atau bagian dalam KUHP yang dimohonkan pengujian atau
setidak-tidaknya bersifat potensial akan menimbulkan kerugian bagi
Pemohon dan/atau publik;
2. Bahwa Pemohon sebagai seorang warga negara Indonesia yang hakhak
konstitusionalnya dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945, akan
tetapi dengan berlakunya ketentuan Pasal 356 ke-1 KUHP, Pemohon
merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya pasal tersebut,
antara lain:
3
a. tidak memberi kemudahan, perlakuan khusus, kesempatan yang
sama di depan hukum dan keadilan;
b. tidak memiliki/menjamin kepastian hukum yang adil dan persamaan;
c. tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum, agama, budaya dan
masyarakat tradisional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. berlawanan dengan prinsip hak-hak asasi manusia dan/atau
senantiasa dan akan selalu rentan/berpotensi berlawanan dengan
hukum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia lainnya yang masih berlaku [Pasal 6 dan Pasal 18 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999], Pasal 1 ayat (1) KUHP,
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Pasal
45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, Pasal 84 ayat (1) dan
ayat (2) KUHP bila digabungkan dengan Pasal 44 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004;
e. bahwa Pemohon sedang dan atau telah:
1) Dengan tidak berdaya disangka penyidik Polresta Kediri
berdasarkan ketentuan Pasal 253 KUHP pada laporan polisi
tanggal 11 Mei 2006, Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
juncto Pasal 253 pada Berita Acara Pemeriksaan, Pasal 44 ayat
(1) atau unsur penganiayaan berat dan Pasal 44 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, serta Pasal 351 ayat (1) dan
Pasal 356 ayat (1) KUHP pada resume tanggal 25 Juli 2006;
2) Dengan tidak berdaya didakwa/dituntut Jaksa Penuntut Umum
berdasarkan dakwaan kesatu ketentuan Pasal 44 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dan dakwaan kedua
(sebagai alternatif) Pasal 356 ayat (1) KUHP yang kemudian
dirubah Majelis Hakim Perkara Nomor 301/Pid.B/2006/PN.Kediri
menjadi Pasal 356 KUHP, diawali dari putusan sela dan/atau
sebagai perilaku yang direncanakan dengan unsur kesengajaan.
Dengan alasan telah ada aturan hukumnya pada Pasal 197 ayat
4
(1) huruf c juncto Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) KUHP dan
Penjelasannya;
3) Bahwa Pemohon dengan tidak berdaya telah didakwa/dituntut
berdasarkan alat bukti surat/visum et repertum yang dibuat dan
tandatangani AKBP dr. Didi Agus Mintadi, SP.D JP.FM dan
dr. Iman Pribadi (berstatus swasta) dari Rumah Sakit
Bhayangkara, pada visum yang telah ditanggalkan di
persidangan oleh dokter yang sama sebagai saksi ahli
kedokteran. Akan tetapi putusan majelis hakimnya memasukkan
nama dr. Imam Pribadi (adalah nama lain/fiktif dan/atau direkareka),
hal ini selaras dengan temuan hasil penelitian Komisi
Yudisial melalui suratnya bertanggal 23 Juni 2008 yang
kadaluarsa tidak terjawab oleh terlapor, dan pula selaras dengan
surat peringatan yang disampaikan Komnas HAM kepada
Kejaksaan melalui suratnya terlampir;
4) Bahwa Pemohon diwaktu disangka, dituntut, divonis majelis
hakim berstatus sebagai suami yang sah sesuai Kutipan Akta
Nikah Nomor 565/21/X/2005 dari kantor KUA Kecamatan
Pesantren, terhadap saksi pelapor/korban, dimana sebagai
bagian dari lingkup rumah tangga khususnya suami isteri. Oleh
karena itu, berhak atas kemudahan, perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan. Akan tetapi hak-hak itu tidak
diterima oleh Pemohon sebagaimana mestinya, sekalipun
berdasarkan aturan hukum Pasal 63 ayat (2) KUHP, dan/atau
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juncto
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam;
5) Bahwa Pemohon dengan tidak berdaya atas sangkalan dari
Ditkam dan Trannas Bareskrim Mabes Polri melalui surat yang
5
ditandatangani oleh Brigjen Pol. Drs. Badrodin Haiti yang
menyatakan bahwa pengaduan Pemohon tidak benar
berdasarkan penelitian anggota Bareskrim pada berkas perkara
di Polres Kediri. Terhadap surat dimaksud, Pemohon telah
menyangkalnya kembali tetapi tidak mendapat jawaban/tidak
mendapat respon. Surat sebagaimana termaksud di atas isinya
adalah pengaduan dugaan adanya perbuatan tindak pidana
surat-surat asli palsu dari oknum penyidik, yang telah di palsukan
oknum jaksa, oknum hakim, oknum panitera, melibatkan oknum
advokat pendamping demi menerbitkan akte cerai atas nama
saksi pelapor/korban hingga Pemohon dirugikan. Akan tetapi
paling tidak surat Kabareskrim Mabes Polri itu dapat menjadi
petunjuk bahwa nama dokter Imam Pribadi yang termuat pada
Putusan Perkara Nomor 301/Pid.B/2006/PN.Kediri adalah tidak
benar. Bahwa pembenaran mengenai sangkaan ketentuan Pasal
44 (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disamakan
dengan ketentuan Pasal 351 ke-1 KUHP dalam surat
Kabareskrim Mabes Polri itu dapat menjadi petunjuk atau pun
bukti adanya pelanggaran oleh penyidik dalam melayani perkara
Pemohon. Pelanggaran dimaksud berupa penerapan hukum
yang salah dan hukum acara yang tidak benar sehingga
Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum yang adil dan
perlakuan khusus yang menjadi hak kontitusional, dan hak asasi
Pemohon;
6) Bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 356 ke-1 KUHP
Pemohon telah dihadapkan di muka sidang Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Agama dengan tidak sesuai undang-undang
maupun hukum acara sehingga Pemohon kehilangan
kesempatan yang sama, yang menjadi bagian hak hidup,
mempertahankan kehidupan, perlindungan diri pribadi, keluarga,
beragama, harkat/martabat, hak mendapatkan perlakuan khusus,
kepastian hukum yang adil, kewajiban menjunjung hukum atas
dasar prisip timbal balik bagi penyelenggara peradilan, dimana
hak-hak itu merupakan hak konstitusional dan asasi Pemohon
6
yang telah terabaikan dan juga ketentuan Pasal 356 ke-1 KUHP
berlawanan dengan prinsip negara hukum dan hak asasi
manusia setelah ada Undang-Undang Perkawinan;
7) Bahwa dengan adanya pengakuan, jaminan di dalam UUD
1945, maka Pemohon sudah semestinya dan patut disebut
orang yang bebas dan/atau sebagai suami yang mempunyai
hak-hak dan kesempatan yang sama, dan sejajar dengan segala
warga di dalam perkawinannya yang sah, serta pula di depan
hukum khususnya pada isteri.
III. ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN MATERIIL TERHADAP KUHP
Bahwa materi muatan dari ayat dan pasal dalam KUHP yang dimohonkan
pengujian adalah Pasal 356 ke-1 yang berbunyi, ”Pidana yang ditentukan
dalam Pasal 351, 353, 354 dan 355, pidananya dapat ditambahkan
sepertiganya:
Ke-1, bagi yang bersalah yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya,
bapaknya yang sah, isterinya atau anaknya.
Pasal 351
Ayat (1), ”Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah”;
Ayat (2), ”Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”;
Ayat (3), ”Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun”;
Ayat (4), ”Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan”;
Ayat (5), ”Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana”;
Pasal 353 ayat (1), ”Penganiayaan dengan direncanakan lebih dulu,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun”;
Pasal 354
7
Ayat (1), ”Barang siapa yang sengaja melukai berat orang lain diancam
karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara
paling lama delapan tahun”;
Ayat (2), ”Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun”;
Pasal 355 ayat (1), ”Penganiayaan berat yang dilakukan dengan cara
rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun”;
IV. AYAT, PASAL DAN/ATAU BAGIAN UUD 1945 YANG DIANGGAP
DIRUGIKAN
Pasal 1 ayat (3), “Negara Indonesia adalah negara hukum”;
Pasal 27 ayat (1), “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;
Pasal 28D ayat (1), “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama
di hadapan hukum”.
Pasal 28H ayat (2), “Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan”;
Pasal 28I ayat (1), “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”;
Pasal 28I ayat (2), “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”;
Pasal 28I ayat (3), “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional di
hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”;
8
Pasal 28I ayat (4), “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”;
Pasal 28I ayat (5), “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan
hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan”;
Pasal 28J ayat (1), “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain dalam tertib kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara”;
Pasal 28J ayat (2), “Dalam menjalankan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;
Bahwa dari 11 (sebelas) ketentuan pasal dalam UUD 1945 sebagaimana
tersebut di atas paling tidak ada lima hak konstitusional Pemohon selaku
WNI yang dilindungi dan dijamin oleh konstitusi, yaitu:
1. Hak atas dasar prinsip negara Indonesia adalah negara hukum;
2. Hak atas persamaan dan kewajiban bersama menjunjung hukum,
secara timbal balik bagi penegak hukum dan/atau lembaganya;
3. Hak atas jaminan kepastian hukum yang adil;
4. Hak untuk mendapatkan kemudahan, perlakuan khusus dan guna
manfaat yang sama demi mencapai persamanan dan keadilan;
5. Hak untuk beragama,dan hak-hak asasi manusia;
V. MATERI MUATAN DALAM PASAL KUHP YANG BERTENTANGAN
DALAM UUD 1945
Mengenai bagi yang bersalah yang melakukan kejahatan itu terhadap
ibunya, bapaknya yang sah, isterinya dan anaknya. Pidananya dapat
ditambah sepertiganya.
1. Bahwa kalimat itu bermakna sama dengan setiap orang dalam lingkup
rumah tangga yang melakukan kejahatan penganiayaan, dimana bila
dalam lingkup rumah tangga terjadi peristiwa penganiayaan, khususnya
9
suami-isteri maka ketentuan hukum yang berlaku adalah Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dan/atau Peraturan Pemerintah 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam, bagi suami-istri pemeluk agama Islam,
dan/atau bila penerapan hukumnya menggunakan Pasal 356 ke-1
KUHP dan berdasarkan KUHAP maka berlawanan dengan hukum dan
hak asasi manusia dimana hal itu menjadi hak konstitusional Pemohon
yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945;
2. Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP yang berbunyi, “Kalau
bagi sesuatu perbuatan yang dapat dipidana karena ketentuan pidana
umum, ada ketentuan pidana khusus maka ketentuan pidana khusus itu
sajalah yang digunakan”;
3. Dalam penjelasannya menyatakan dikataka Lex Specialis Derogat Legi
Generali. Yang artinya, undang-undang khusus meniadakan undangundang
umum. Undang-undang khusus ialah undang-undang yang
berisikan undang-undang umum ditambah dengan sesuatu lagi yang
lain;
Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga yang berbunyi, “Lingkup rumah tangga dalam undang-undang
ini meliputi Suami, istri dan anak dan seterusnya”. Adapun ketentuan
pidananya pada Bab VIII yaitu dari Pasal 44 ayat (1) dan sesuai hukum
acara dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004;
4. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 77 ayat (5) Kompilasi Hukum
Islam, “Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama”;
5. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, “Gugat cerai dilaksanakan di Pengadilan Agama. Dan
berdasarkan hukum acara Perdata Indonesia”;
6. Bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 selaras dengan arah
pembangunan hukum nasional sebagaimana Ketetapan MPR Nomor
10
IV/MPR/1973 juncto Repelita II Bab 27 Hukum. Ketetapan MPR Nomor
II/MPR/1993 yang menegaskan bahwa pembangunan hukum diarahkan
pada makin terwujudnya sistim hukum nasional yang bersumber dari
Pancasila dan UUD 1945 yang mencakup materi hukum, aparatur
hukum serta sarana dan prasarana hukum dalam rangka pembangunan
negara hukum, untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang aman
dan tenteram;
7. Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan perundangundangan
sebagaimana diuraikan di atas dan TAP MPR, maka dengan
mengingat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Negara
Indonesia adalah negara hukum, oleh sebab itu telah sepatutnya
negara dan Pemerintah memperbaiki, mengesampingkan dan/atau
menghapus sama sekali ketentuan pidana pada Pasal 356 ke-1 KUHP
karena berlawanan dengan konstitusi, hak asasi manusia, hukum
dan/atau undang-undang Indonesia yang berlaku dan juga tidak tertuju
pada hukum acara yang adil, benar dan khusus dimana hak-hak itu
menjadi hak konstitusional Pemohon;
8. Bahwa ketentuan Pasal 356 ke-1 KUHP dibentuk pada pemerintahan
Hindia Belanda, maka tidak bersumber dan tidak berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945. Oleh sebab itu, setelah ada ketentuan pidana khusus,
undang-undang yang khusus dan hukum acara khusus pula yang
dibentuk dan menjadi hukum nasional Indonesia telah sepatutnya
masyarakat, penegak hukum, lembaga peradilan, pemerintah, dan
negara mengesampingkan Pasal 356 ke-1 KUHP;
9. Bahwa utamanya menerapkan, menggunakan hukum nasional juga
telah selaras dengan pendapat umum yaitu dari para penulis/ahli hukum
yang diambil dari buku tentang Dr. Herlien Budiono SH. Prof. Dr.
B. Arief Sidharta, S.H., yang menyatakan bahwa diberlakukannya tata
hukum dari zaman Hindia Belanda di Indonesia itu dimaksudkan hanya
untuk sementara saja, yakni sampai diganti tata hukum Indonesia.
Prof. Dr. C. F. G. Sunaryati Hartono, SH. menyatakan bahwa pengertian
hukum nasional yang berbeda dari hukum positif, pengertiannya lebih
sebagai Jus Constituendom Indonesia atau sistem hukum yang
diharapkan oleh rakyat Indonesia. Begitu juga menurut Satjipto
11
Rahardjo, J. C. T. Simorangkir, Moh. Koesnoe menyatakan bahwa
hukum nasiaonal sebagai sumber hukum primer (baik secara idiil
maupun riil), berasal dari budaya nasional sendiri dengan kemungkinan
membawa masuk sumber-sumber hukum dari luar sebagai akibat dari
hubungan-hubungan internasional. R. Subekti, menyatakan bahwa
setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus mempunyai hukum
nasional yang baik dalam bidang kepidanaan dan bidang keperdataan,
mencerminkan kepribadian, jiwa dan pandangan hidup bangsanya;
Bahwa berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka Pasal 356 ayat
(1) KUHP tidak lagi memenuhi unsur-unsur itu. Oleh sebab itu tidak
relevan lagi untuk diterapkan dan telah sepatutnya dikesampingkan,
dan/atau dihapus sama sekali;
10. Bahwa berkas perkara Kasasi Pemohon di Mahkamah Agung RI, telah
menyebut PID.SUS, maka dapat diartikan dan menjadi bukti bahwa
perkara Pemohon adalah perkara pidana khusus, tidak sebagaimana
perkara sebelumnya, yaitu Nomor 301/PID.B/2006/PN.Kediri dan
Nomor 187/PID/2007/PT.SBY yang artinya Pemohon dahulu diadili
berdasarkan pemeriksaan biasa/pidana umum. Sebagaimana
pembuktian majelis hakimnya menggunakan ketentuan Pasal 183
KUHAP, yang semestinya ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004, lebih-lebih aturan itu tidak terpenuhi dan terlebih lagi
Jaksa Penuntut Umum menyatakan sependapat dengan unsur
pembuktian Pengadilan Negeri Kediri oleh majelis hakimnya, dan/atau
dapat menjadi bukti bahwa JPU sendiri telah menanggalkan dakwaan/
tuntutan dan hasil pemeriksaan di persidangan, dan/atau oknum JPU
turut serta mereka-reka perkara pada perkara Putusan Nomor 301/ Pid.
B/2006/PN Kediri;
11. Bahwa beberapa pasal dalam muatan Pasal 356 ke-1 KUHP yaitu Pasal
351, Pasal 353, Pasal 354, dan Pasal 355 dimana ancaman pidananya
beragam pula yang menjadikan tersangka/terdakwa/Pemohon tidak
mendapatkan persamaan, kepastian hukum, perlakuan khusus dan
pasal-pasal itu berpotensi direka-reka oleh oknum penegak hukum yang
nakal (koruptor yudisial) yang secara umum masyarakat mengetahui/
mendengar/merasakan sendiri keberadaannya di peradilan, baik melalui
12
mass media ataupun hasil seminar para pakar hukum (surat-surat
sebagai bukti dan/atau kliping koran terlampir). Sedang menjadi
problem bangsa, pemerintah dan negara. Sebagaimana permasalahan
tersebut di atas paling tidak telah mendapat perhatian Presiden melalui
surat Seketariat Negara;
Mengenai pidananya dapat ditambah sepertiganya dari ancaman
hukuman pokok. Ketentuan ini bila pelakunya suami atau isterinya,
maka hal itu tidak memperdekat hubungan perkawinan terdakwa, tetapi
sebaliknya menjauhkannya dari hak terdakwa untuk memelihara
keutuhan rumah tangganya kembali semakin lama tidak dapat terpenuhi
dan mengesampingkan prinsip persaman di depan hukum, sifat dan
sikap diskriminasi yang merupakan hak konstitusional segala warga,
khususnya Pemohon;
Oleh sebab itu materi muatan Pasal 356 ke-1 KUHP tanpa asas dan
tujuan merupakan produk kolonial/pidana umum telah sepatutnya dan
semestinya serta wajib ditanggalkannya, diganti dengan memasukkan
ketentuan hukum nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 dan/atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974/Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975/Kompilasi Hukum Islam, dimana hal
ini merupakan hak konstitusional Pemohon yaitu hak untuk
mendapatkan kepastian hukum, perlakuan khusus, beragama dan hak
membentuk keluarga dan meneruskan keturunan berdasarkan
perkawinan yang sah, dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945;
Artinya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tidak dapat diduakan/
digabungkan/dialternatifkan dengan Pasal 356 ke-1 KUHP, tetapi Pasal
356 ke-1 KUHP wajib ditiadakan selaras dengan ketentuan Pasal 63
ayat (2) KUHP yang masih berlaku, yang berlawanan dengan prinsip
negara Indonesia adalah negara hukum secara konstitusional;
12. Bahwa bila dipandang dari sisi agama dan/atau keyakinan beragama,
maka materi muatan Pasal 356 ke-1 KUHP juga sudah tidak relevan
lagi diterapkan di Indonesia, karena menjauhkan dari unsur damai/islah
yang senantiasa telah berlaku bagi masyarakat tradisional dan budaya
bangsa Indonesia. Dan dengan adanya aturan dapat ditambahkan
hukuman sepertiganya, maka aturan itu mengesampingkan hati nurani
13
seseorang, dan mengesampingkan persamaan hak antara suami-istri
yang sejajar dan seimbang di depan hukum, dimana hati setiap orang
dapat berubah-ubah pula setiap detik, dapat berubah baik atau
kesebalikannya, lebih-lebih antara keluarga dalam lingkup rumah
tangga. Oleh sebab itu sifat diskriminatif dan perlakuan yang
diskriminatif bagi segala warga patut dikesampingkan karena menjadi
hak konstitusional Pemohon;
Bahwa segala uraian di atas, secara jelas dan nyata terbukti bahwa
ketentuan Pasal 356 ke-1 KUHP yang mengatur pidana pada ketentuan
Pasal 351, Pasal 353, Pasal 354, dan Pasal 355. Pidananya dapat
ditambahkan sepertiganya bagi yang bersalah melakukan tindak
kejahatan terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya, atau anaknya,
khususnya istrinya yang sah, bertentangan dengan prinsip-prinsip yang
dijamin dan dilindungi dalam UUD 1945, yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 27
ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5), Pasal 28J ayat (1) dan
ayat (2).
VI. PERMOHONAN
Berdasarkan segala uraian pertimbangan dan alasan tersebut di atas,
Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan
memeriksa dan memutuskan permohonan pengujian materiil Pemohon
sebagai berikut:
1. Mengabulkan petitum pemohon seluruhnya;
2. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 356 ke-1 KUHP/Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tidak berdasarkan UUD 1945 dan bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5), Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;
3. Menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 356 ke-1 Kitab Undangundang
Hukum Pidana/KUHP sebagaimana tersebut dalam angka 2 di
atas, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat
hukumnya.
14
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya.
[2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya,
Pemohon telah mengajukan alat bukti tertulis yang telah disahkan dalam
persidangan tanggal 17 Desember 2008, diberi tanda P-1 sampai dengan P-14,
sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Ketentuan Bab VI Tentang Gabungan Tindak Pidana;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Buku Nikah Suami;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Surat Mahkamah Agung RI bertanggal 28 Desember
2007 Nomor 68/TU/567/2007/K/Pid.Sus perihal Penerimaan
Berkas Perkara Kasasi Pidana atas nama Terdakwa Bambang
Sugeng Irianto bin Nahrowi;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Pendapat Umum dari para ahli/penulis mengenai
utamanya Hukum Nasional Indonesia;
7. Bukti P-7 : Fotokopi tentang ayat, pasal dari UUD 1945 yang dianggap
merugikan;
8. Bukti P-8 : Fotokopi Surat Pengantar Pelimpahan Berkas Perkara, Surat
Dakwaan dan Tuntutan;
9. Bukti P-9 : Fotokopi Putusan Nomor Perkara 301/Pid.B/2006/PN.Kediri;
10. Bukti P-10 : Fotokopi Putusan Nomor Perkara 187/PID/2007/PT.Surabaya;
11. Bukti P-11 : Fotokopi Surat Kejaksaan Negeri Kediri bertanggal 13 Agustus
2007 perihal Memori Kasasi;
12. Bukti P-12 : Fotokopi Surat Pemberitahuan Isi Putusan Banding Nomor
149/Pdt.G/2007/PTA.Sby.;
13. Bukti P-13 : Fotokopi Kliping berjudul MA Defensif, Mafia Peradilan
Merajalela;
15
14. Bukti P-14 : Fotokopi Berita Acara Pemeriksaan Tersangka, Saksi Korban,
Protes, Surat Pendukung Surat Al Quran.
[2.3] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi dipersidangan, ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan,
dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
menguji konstitusionalitas Pasal 356 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang berbunyi, “Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, Pasal 353,
Pasal 354, dan Pasal 355 dapat ditambah dengan sepertiganya: ke-1, bagi yang
melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah, isterinya, atau
anaknya” yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).
[3.2] Menimbang, sebelum mempertimbangkan Pokok Permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) harus
mempertimbangkan terlebih dahulu:
1. Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo;
2. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk bertindak selaku
Pemohon dalam permohonan a quo.
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
KEWENANGAN MAHKAMAH
[3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya
disebut UU MK), juncto Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
16
Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4358) Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, antara lain, menguji undangundang
terhadap UUD 1945;
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, Mahkamah secara prima facie
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo yang
akan dipertimbangkan lebih lanjut dalam Pokok Permohonan;
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat
mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,
antara lain adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. Sementara itu, Mahkamah
sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
17
[3.6] Menimbang bahwa karena prima facie Mahkamah berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo dan Pemohon prima
facie memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo, maka Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut
pokok permohonan karena masalah kewenangan dan legal standing dalam
perkara ini sangat terkait dengan pokok permohonannya;
POKOK PERMOHONAN
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 356 ke 1
KUHP bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan tersebut berbunyi, “Pidana
yang ditentukan dalam Pasal 351, Pasal 353, Pasal 354, dan Pasal 355 dapat
ditambah dengan sepertiganya: ke-1 bagi yang melakukan kejahatan itu kepada
ibunya, bapaknya yang sah, isterinya, atau anaknya”;
[3.8] Menimbang bahwa dengan merujuk kepada ketentuan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (2), Pasal
28I ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 28J ayat (1) dan ayat
(2) UUD 1945, Pemohon mengemukakan hak-hak konstitusionalnya yang
dilindungi dan dijamin oleh konstitusi, yaitu:
1. Hak atas dasar prinsip Negara Indonesia adalah negara hukum;
2. Hak atas persamaan dan kewajiban bersama menjunjung hukum, secara
timbal balik bagi penegak hukum dan/atau lembaganya;
3. Hak atas jaminan kepastian hukum yang adil;
4. Hak untuk mendapatkan kemudahan, perlakuan khusus dan guna manfaat
yang sama demi mencapai persamanan dan keadilan;
5. Hak untuk beragama, dan hak-hak asasi manusia;
yang menurut Pemohon materi dalam Pasal 356 ayat (1), yang seharusnya
Pasal 356 ke-1 KUHP, berbunyi “Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351,
Pasal 353, Pasal 354, dan Pasal 355 dapat ditambah sepertiganya: ke-1 bagi
yang bersalah yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang
sah, isterinya dan anaknya” bertentangan dengan UUD 1945, khususnya hakhak
konstitusional Pemohon dengan alasan-alasan yang pada pokoknya:
18
a. Pemohon sebagai Terdakwa telah disidik oleh Penyidik Polresta Kediri dan
telah dituntut oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Kediri berdasarkan
dakwaan kesatu melanggar Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan
Pasal 356 ke-1 KUHP yang merupakan penerapan hukum yang salah
menyebabkan Pemohon telah dihadapkan di muka sidang peradilan umum
dan peradilan agama dengan tidak semestinya;
b. Kalimat dalam Pasal 356 ke-1 KUHP tersebut di atas bermakna sama
dengan setiap orang dalam hidup rumah tangga terjadi peristiwa
penganiayaan di dalam rumah tangga, khususnya antara suami isteri,
seharusnya ketentuan yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
dan/atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan/atau Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Hukum Perkawinan Islam bagi suami isteri pemeluk agama
Islam, bukan menggunakan Pasal 356 ke-1 KUHP;
c. Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP yang berbunyi, “Kalau bagi
suatu perbuatan yang dapat dipidana dengan ketentuan pidana umum, ada
ketentuan pidana khusus, maka ketentuan pidana khusus itu saja yang akan
digunakan”. Asas ini dikenal dengan asas lex specialis derogat legi generali.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, menegaskan
lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi suami, isteri, dan
anak, sehingga yang harus dipergunakan adalah ketentuan pidana dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, bukan KUHP;
d. Ketentuan Pasal 77 ayat (5) Kompilasi Hukum Islam, sebagaimana termuat
dalam lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi, “Jika suami atau
isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Agama”, juga sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang19
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi, “Gugat
cerai dilaksanakan di Pengadilan Agama”, serta undang-undang khusus,
yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga yang selaras dengan arah pembangunan
nasional, yaitu terwujudnya sistem hukum nasional yang bersumber dari
Pancasila dan UUD 1945 yang mencakup materi hukum, aparatur hukum,
sarana dan prasarana hukum dalam rangka pembangunan negara hukum
untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang aman dan tentram;
Berhubung hal-hal di atas, maka sepatutnya negara dan Pemerintah
memperbaiki, mengesampingkan dan/atau menghapus sama sekali
ketentuan pidana dalam Pasal 356 ke-1 KUHP karena bertentangan dengan
konstitusi;
e. Pasal 356 ke-1 KUHP dibentuk pada masa pemerintahan Hindia Belanda,
tidak bersumber dari Pancasila dan UUD 1945, sehingga setelah ada hukum
nasional Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, maka
sepatutnya masyarakat, penegak hukum, lembaga peradilan, pemerintah,
dan negara mengesampingkan Pasal 356 ke-1 KUHP.
Pendapat Mahkamah
[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian dalil-dalil Pemohon di
atas, Mahkamah akan memberikan pertimbangan sebagai berikut:
[3.9.1] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon sebagaimana pada huruf a,
pertama-tama Mahkamah perlu menegaskan, masalah penyidikan, penuntutan,
putusan pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, putusan kasasi oleh
Mahkamah Agung, putusan Peninjauan Kembali (PK) hingga eksekusi
putusannya, Mahkamah tidak berwenang menilainya, oleh karena hal-hal
tersebut dalam kaitannya dengan permohonan a quo semata-mata menjadi
wewenang Penyidik Kepolisian, Penuntut Umum Kejaksaan Negeri, Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung;
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan adanya penerapan
hukum yang salah, Mahkamah berpendapat, tanpa menilai putusan Pengadilan
Negeri Kediri Nomor 301/Pid.B/2006/PN.Kdr (bukti P-9) dan Putusan Pengadilan
20
Tinggi Surabaya Nomor 187/PID/2007/PT.SBY (bukti P-10) yang menguatkan
Putusan Pengadilan Negeri Kediri, putusan kedua pengadilan tersebut telah
menerapkan Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap terdakwa Bambang
Sugeng Irianto bin Nahrowi (Pemohon) dan bukan menerapkan Pasal 356 ke-1
KUHP;
Bahwa seandainya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, atau
Mahkamah Agung kelak dalam putusannya menilai bahwa dakwaan alternatif
Kedua yakni melanggar Pasal 356 ke-1 KUHP yang patut untuk diterapkan atau
membebaskan terdakwa dari semua dakwaan atau melepaskan terdakwa dari
segala tuntutan, tentang hal itu pun, seperti telah dipertimbangkan di atas,
Mahkamah tidak berwenang menilainya;
[3.9.2] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon sebagaimana pada huruf b
yang menurut Pemohon bahwa kalimat dalam Pasal 356 ke-1 KUHP bermakna
sama dengan setiap orang dalam hidup rumah tangga terjadi peristiwa
penganiayaan di dalam rumah tangga khususnya suami isteri, seharusnya
ketentuan yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan/atau Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan/atau Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam sebagaimana termuat
dalam lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Mahkamah berbendapat bahwa
tanpa menilai Putusan Pengadilan Negeri Kediri dan Pengadilan Tinggi
Surabaya sebagaimana yang telah dipertimbangkan dalam paragraf [3.9.1] di
atas, Pengadilan Negeri Kediri dan Pengadilan Tinggi Surabaya telah
menerapkan Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Adapun
mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam
sebagaimana termuat dalam lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, aturan-aturan tersebut
diterapkan dalam perkara perdata, yang dalam perkara perdata perceraian,
21
telah diputus oleh Pengadilan Agama Kediri dengan Putusan Nomor 317/Pdt
G/PA.Kdr bertanggal 19 April 2007 dan putusan tingkat banding dengan Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Nomor 149/Pdt.G/PTA.SBY bertanggal 12
Juli 2007 (bukti P-12);
Bahwa seperti halnya Putusan Pengadilan Negeri Kediri dan Putusan
Pengadilan Tinggi Surabaya dalam perkara pidana, dimana Pemohon sebagai
Terdakwa, begitu pula Putusan Pengadilan Agama Kediri dan Pengadilan Tinggi
Agama Surabaya, yang di dalamnya Pemohon sebagai Tergugat kemudian
Tergugat Pembanding, Mahkamah tidak berhak menilainya, karena bukan
kewenangan Mahkamah;
[3.9.3] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon sebagaimana pada huruf c
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP berlaku asas lex
specialis derogat legi generali, Mahkamah sependapat dengan Pemohon bahwa
dalam hal ada ketentuan khusus dan ada ketentuan umum, yang dipergunakan
adalah ketentuan khusus. Selain asas tersebut, dikenal juga asas lex posterior
derogat legi priori, yang berarti hukum baru mengesampingkan hukum yang
lama. Meskipun demikian, kedua asas tersebut berkaitan dengan penerapan
hukum oleh instansi yang berwenang bukan masalah konstitusionalitas norma,
sehingga seperti dipertimbangkan sebelumnya Mahkamah tidak berwenang
menilainya;
[3.9.4] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon sebagaimana pada huruf d
yang mengatakan bahwa Pasal 77 ayat (5) Kompilasi Hukum Islam
sebagaimana termuat dalam lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berbunyi, “Jika
suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Agama”, juga seperti ketentuan Pasal 20 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi, “Gugat cerai
dilaksanakan di Pengadilan Agama”, serta undang-undang khusus, yaitu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga, yang menurut Pemohon selaras dengan pembangunan
nasional, yakni terwujudnya sistem hukum nasional, seperti telah
dipertimbangkan pada paragraf [3.9.2] di atas, menurut Mahkamah, Kompilasi
22
Hukum Islam, begitu pula Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah
hukum perdata dan telah diterapkan oleh Pengadilan Agama Kediri dan
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya dalam kasus gugatan perceraian yang
diajukan oleh Sri Ambarwati binti Tamzid sebagai Penggugat/Penggugat
Terbanding melawan Bambang Sugeng Irianto bin Nachrowi (Pemohon) sebagai
Tergugat/Tergugat Pembanding;
Bahwa adapun mengenai penganiayaan yang dilakukan oleh Pemohon
terhadap Sri Ambarwati binti Tamzid (isteri Pemohon), hal tersebut telah
ditindaklanjuti, sehingga Pemohon sebagai Terdakwa diadili pada Pengadilan
Negeri Kediri kemudian oleh karena Pemohon sebagai Terdakwa mengajukan
permohonan banding, diputus oleh Pengadilan Tinggi Surabaya yang
menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Kediri (vide bukti P-9 dan bukti P-10);
Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan pada paragraf [3.9.2],
Mahkamah tidak berwenang menilai dari proses penyidikan, penuntutan,
persidangan, putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, putusan
Mahkamah Agung, hingga eksekusinya. Mahkamah berpendapat bahwa dalil
yang diajukan oleh Pemohon adalah terkait dengan masalah penerapan hukum,
tidak terkait dengan masalah konstitusionalitas norma;
[3.9.5] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon sebagaimana pada huruf e
bahwa ketentuan Pasal 356 ke-1 KUHP dibuat pada masa pemerintahan Hindia
Belanda, menurut Mahkamah, pernyataan tersebut adalah benar. Akan tetapi,
berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 sebelum perubahan yang
menetapkan, “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”
dan Aturan Peralihan Pasal I UUD 1945 setelah perubahan yang menegaskan,
“Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”, ketentuan Pasal
356 ke-1 KUHP masih berlaku;
[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
di atas, Mahkamah menilai, dalil-dalil permohonan Pemohon ternyata hanya
berhubungan dengan penerapan hukum, tidak berkaitan dengan
23
konstitusionalitas norma atau pasal yang dimohonkan pengujian, oleh karena itu
dalil-dalil tersebut harus dikesampingkan;
4. KONKLUSI
Berdasarkan seluruh fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas,
Mahkamah berkesimpulan bahwa:
[4.1] Materi permohonan Pemohon adalah berkaitan dengan penerapan
hukum dalam perkara pidana yang merupakan wewenang peradilan di
bawah lingkungan Mahkamah Agung, dan tidak dapat dinilai oleh
Mahkamah;
[4.2] Kerugian Pemohon bukan merupakan kerugian konstitusional
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) UU MK;
5. AMAR PUTUSAN
Dengan mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
Mengadili,
Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang
dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, Muhammad Alim,
M. Arsyad Sanusi, Abdul Mukthie Fadjar, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati,
Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar pada hari Selasa tanggal dua puluh bulan
Januari tahun dua ribu sembilan, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal dua puluh sembilan
bulan Januari tahun dua ribu sembilan, oleh tujuh Hakim Konstitusi, yaitu Abdul
Mukthie Fadjar, selaku Ketua Sidang merangkap Anggota, Muhammad Alim, M.
Arsyad Sanusi, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Maruarar Siahaan, dan M.
24
Akil Mochtar, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Makhfud
sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon dan Pemerintah
dan/atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Abdul Mukthie Fadjar
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
Muhammad Alim M. Arsyad Sanusi
ttd. ttd.
Achmad Sodiki Maria Farida Indrati
ttd. ttd.
Maruarar Siahaan M. Akil Mochtar
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Makhfud

Manfaat Putusan Hakim Peradilan Agama


BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

    Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaaannya itu-Pasal 29 ayat (2) UUD 1945-

    Tafsiran Profesor Hazairin semasa hayatnya sebagai Guru Besar Hukum Islam atas pasal 29 ayat (2) adalah: ”Negara Republik Indonesia wajib menjalankan dalam makna menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dipeluk bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara negara”. Artinya, penyelenggara negara wajib menjalankan syariat agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia untuk kepentingan pemeluk agama yang bersangkutan. (1)

    Mengingat hampir 88,2 % penduduk Indonesia beragama Islam (2) dan Islam merupakan agama yang diakui secara sah maka dalam rangka memenuhi kewajibannya itu negara membentuk suatu lembaga Badan Peradilan Agama yang mempunyai lingkup dan kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman(3) yang kemudian terus berkembang hingga menjadi Peradilan Agama dengan berlakunya Undang-Undang no. 7 Tahun 1989 . Kehadiran lembaga Peradilan Agama ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi umat Islam dalam hal penyelesaian sengketa dan penegakan syariat Islam yang bersifat formal yuridis.





  1. Perumusan Masalah

    Dari segi historis sesungguhnya keberadaan Pengadilan Agama sudah berlangsung lebih dari seratus tahun yakni sejak diresmikan melaui Staasblad Tahun 1882 No. 152 (4) Kemudian terus berkembang menjadi Peradilan Agama melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dimana kewenangannya meliputi memeriksa, mengutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang Islam di bidang:

    1. Perkawinan
  1. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam
    1. Waqaf dan shadaqah

    Dan kini pengadilan agama pun kembali bertransformasi dengan turut mengadili sengketa ekonomi syariah berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. (5)

    Melihat usia pengadilan agama yang serta kekuasaan dan kewenangannya yang begitu luas maka dapat dipastikan bahwasanya produk-produk putusan hakim peradilan agama telah memberikan manfaat yang amat banyak bagi kemaslahatan ummat. Oleh karena itu melalui tulisan ini kami selaku penulis akan menganalisis terkait manfaat apa saja yang diperoleh oleh umat Islam melalui putusan hakim peradilan agama.

    Namun, mengingat cukup banyaknya putusan-putusan di lingkungan peradilan agama sebagimana dicantumkan dalam Pasal 49 UU No. 7/1989 maka kami menitikberatkan pada manfaat putusan hakim peradilan agama di bidang Perkawinan Islam.

  1. Tujuan Penulisan

    Tujuan penulisan kali ini adalah untuk mengetahui manfaat putusan hakim peradilan agama dalam bidang Perkawinan Islam.

  1. Ruang Lingkup

    Analisis dan evaluasi hanya akan ditujukan pada putusan hakim peradilan agama dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam masalah:

        1. Izin Menikah
        2. Izin Poligami
        3. Gugatan Cerai
        4. Rujuk

    Sementara itu masih banyak problema-problema lain selain yang disebutkan diatas seperti Hadhanah, pindah agama dan lain-lain yang kurang begitu menonjol.

  1. Metodologi Penelitian

Metodologi yang digunakan adalah penelitian kepustakaan

  1. Sistematika Penyajian Dalam ”Manfaat Putusan Hakim Peradilan Agama ” adalah :

    BAB I. PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang
    2. Perumusan Masalah
    3. Tujuan Penulisan
    4. Ruang Lingkup
    5. Metodologi
    6. Sistematika Kajian

    BAB II. ISI

      1. Pengertian
          1. Peradilan Agama
          2. Hakim
          3. Putusan
      1. Dasar Hukum
          1. Berdasarkan Al-Qur’an
          2. As-Sunnah
          3. Menurut hukum positif

      1. Analisis
      1. Hukum Islam dalam Praktek Peradilan Agama di Indonesia
          1. Wewenang Peradilan Agama Indonesia
          1. Pengambilan Keputusan dan Manfaat Keputusan Hakim

    BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
































BAB II

PEMBAHASAN


  1. Pengertian

    Memberikan pengertian terhadap ”putusan hakim peradilan agama” tidaklah mudah, hal ini terkait dengan sifat putusannya yang istimewa karena mengandung tiga unsur yakni ”putusan”, ”hakim”, dan ”peradilan agama”. Tiga hal tersebut diatas harus dipahami maknanya masing-masing agar didapat makna yang komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan ”putusan hakim peradilam agama” untuk itu kali ini terlebih dahulu akan dibahas pengertian unsur-unsur tersebut satu per satu

    1. Peradilan agama

    Pengadilan agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari keadilan dan kebenaran yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu majelis Hakim atau Mahkamah(6). Oleh karena itu. Peradilan Agama dinamakan Mahkamah Syar’iyah yang berarti Pengadilan atau Mahkamah yang tugasnya menyelesaikan perselisihan Hukum Agama atau Hukum Syaraq. Karenanya peradilan agama hanya khusus berlaku bagi orang yang beragama Islam saja.

    Berdasarkan UU 7 Tahun 1989 dijelaskan bahwa kewenangan pengadilan agama di Indonesia hanya mencakup penegakan syariat Islam yang sifatnya perdata saja.

    1. Hakim

    Hakim adalah penjabat yang berwenang menghukumi suatu tindak pidana atau suatu pertengkaran dengan menjatuhi hukuman kepada pelaku pidana atau dengan memerintahkan kepada pihak yqang terkalahkan untuk mengembalikan hak kepada pihak yang terkalahkan untuk mengembalikan hak kepada pihak yang sebenarnya dan menolak kezhaliman(7). Oleh karena kewenangan peradilan agama di Indonesia hanya mencakup segi perdata saja, maka hakim disini bertugas untuk menjatuhkan hukuman pada pihak yang bersengketa perdata saja.

    1. Putusan

    Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius) (8)

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan ”putusan hakim peradilan agama” adalah pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di lingkungan Peradilan Agama yang berkekuatan hukum yang sah dalam hal sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan kewenangan Peradilan Agama sebaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 tahun 2006 ”

  1. Dasar Hukum

    Dasar Hukum Peradilan Agama dan pentingnya keputusan hakim antara lain:

    1. Dasar Hukum Al-Qu’ran
      1. QS. Al-Baqarah (1): 30

      Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: " Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ". Mereka berkata:" Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? "Tuhan berfirman:" Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui ".(9)

      1. QS. Al-Baqarah (1): 188

      Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.(10)


      1. QS. Al-Baqarah (1): 231

      Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketah (11)

      1. QS. Ali Imran (3) : 104

      Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.(12)

      1. QS. An-Nisa (4) : 58

      Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(13)

      1. QS. An-Nisa (4) : 59

      Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(14)

      1. QS. Al-Maidah (5): 8

      Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(15)

      1. QS. Al-Maidah (5): 44

      Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (16)

      1. QS. Al-Maidah (5): 45

      Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (17)

      1. QS. Al-Maidah (5): 47

      Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (18)

      1. QS. Al-Maidah (5): 48

      Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.(19)

      1. QS. Hud (11) :85

      Dan Syuaib berkata: "Wahai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.(20)

      1. QS.An-Nahl (16) : 85

      Dan apabila orang-orang zalim telah menyaksikan azab, maka tidaklah diringankan azab bagi mereka dan tidak pula mereka diberi tangguh.(21)

      1. QS. Shaad (38) : 26

      Wahai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.(22)

    1. Dasar Hukum Hadist
        1. ”Warta dari Abdullah bin ’Amr menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: ”Tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah lapang,kecuali mereka mengangkat pimpinan salah satu seorang dari mereka” (HR Ahmad) (23)

    1. Menurut Hukum Positif (24)
        1. Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa, Madura sedangkan untuk di luar daerah Jawa/Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg
        2. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah menjadi UU No. 35 Tahun 1999 dan diubah lagi dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
        3. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yang memuat tentang Acara Perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara di mahkamah Agung RI
        4. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam UU ini diatur tentang Susunan dan Kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Peradilan Umum
        5. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan tersebut
        6. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
        7. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri atas 3 buku, yaitu hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.





  1. Analisis
  1. Hukum Islam dalam Praktek Peradilan Agama di Indonesia

    Peradilan agama dalam hubungannya dengan hukum Islam merupakan lembaga yudikatif yang merupakan suatu bentuk penjabaran lebih lanjut dari aktivitas keulamaan dalam masyarakat. Oleh karena itu ia memiliki tanggung jawab terhadap seluruh penegakan hukum Islam melalui (25) :

    1. reintroduksi Islam yang dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran agar masyarakat bertingkah laku menurut hukum melalui jalan dakwah
    2. hukum materiil yang menjadi substansi transformasi intelektual pada setiap lembaga pendidikan Islam
    3. penyelenggaraan hukum keluarga
    4. layanan fatwa hukum dan;
    5. manajemen harta agama (25)

    Maka dapat disimpulkan bahwasanya peradilan agama menerima kapasitas sebagai tonggak penegak hukum Islam

  1. Wewenang Peradilan Agama Indonesia (26)

    Sebelum Kemerdekaan:

    • Staatsblaad 1882 No. 152 tidak disebutkan secara tegas kewenangan PA, hanya disebutkan bahwa wewenang PA itu berdasarkan kebiasaan dan biasanya menjadi ruang lingkup wewenang PA adalah: hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan, talak, rujuk, wakaf, warisan.
    • Staatsblaad 1937 No. 116 (Jawa dan Madura) : “PA hanya berwenang memeriksa perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan perkara-perkara lain yang berkenaan dengan nikah, talak dan rujuk.

    Pada masa ini wakaf, tuntutan nafkah, hadhanah, pemecatan wali nikah, perkara kewarisan, hibah wasiat, sadakah bukan kewenangan PA.

Setelah Kemerdekaan:

    PP No. 45 Tahun 1957: PA berwenang mengadili perkara nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, mahar, maskan (tempat kediaman), mut'ah, hadanah, waris, wakaf, hibah, sadakah, baitul maal. SK. Menag No. 6 Tahun 1980: Nama untuk peradilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Agama. Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Agama. Pasal 49 s/d 53 UU No. 7 Tahun 1989: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakaf dan sadakah.

    Kewenangan PA saat ini:

    Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

  • perkawinan;
  • waris;
  • wasiat
  • hibah;
  • wakaf;
  • zakat;
  • infaq;
  • shadaqah; dan
  • ekonomi syari'ah.
  1. Pengambilan Keputusan dan Manfaat Keputusan Hakim

    Untuk dapat menjalankan fungsi-fungsinya tersebut, maka dibutuhkan perangkat hukum perspektif yang merujuk pada rumusan Al-Qur’an dan Sunnah agar nantinya dapat dikeluarkan produk hukum berupa putusan yang dapat dijadikan alat penyelesaian sengketa sekaligus sebagai dasar bagi hakim-hakim lain dalam mengeluarkan putusan.

      1. Syarat-syarat menjadi hakim

      Tak dapat dipungkiri bahwasanya tegak atau tidaknya keadilan tergantung pada diri pribadi orang tersebut baik, maka keadilan pun akan tegak dan dapat memberikan manfaat bagi orang banyak akan tetapi apabila diri pribadi penegak hukum itu buruk, maka keadilan tidak akan tegak. Oleh karena itu dibuatlah suatu kriteria untuk menjadi hakim Peradilan Agama, yaitu (27) :

    • Beragama Islam, dewasa, berakal dan adil
    • Memahami ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasul
    • Mengetahui Ijma dan Qiyas
      1. Ihwal pengambilan keputusan

      Dalam memutuskan suatu perkara, sesungguhnya hakim mendasarkan segala keputusannya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Namun, apabila ada suatu perkara yang lukisannya tidaj tergambar jelas dalam Al-Qur’an dan Hadist maka hakim harus menggunakan akalnya (Ar-Ra’yu ) atau ijtihad. Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dengan menggunakan segala daya dan dana serta rasio untuk mempelajari Hukum Islam dari sumbernya yang asli yakni Al-Qur’an dan Al-Hadist, kemudian mengalirkan garis hukum bau daripadanya atau untuk mencapai tujuan tertentu menyusun suatu pendapat mengenai atau berhubungan dengan suatu Tata Hukum (28). Hasil ijtihad ini nantinya bisa menjadi keputusan hakim.

      Dalam hal memutuskan suatu perkara, hakim harus memperhatikan hal-hal berikut ini (29)

        1. Keputusan hakim harus berdasarkan pengetahuannya
        2. Keputusan hakim tidak boleh menghalalkan apa yang haram dan mengharamkan apa yang halal
        3. Hakim dilarang memutuskan perkara dalam keadaan marah


      1. Manfaat umum putusan hakim peradilan agama

      Secara umum manfaat dari putusan hakim peradilan agama adalah dapat diselesaikannya sengketa-sengketa yang terkait dengan hal-hal yang terkait dengan syariat-syariat hukum perdata Islam seperti perkawinan, waris, waqaf dan sebagainya dengan berdasarkan pada asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

      1. Contoh Kasus Hakim Peradilan Putusan Peradilan Agama

      Kebutuhan umat Islam yang semakin besar akan penyelesaian perkara-perkara yang terkait bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah menjadikan putusan hakim Peradilan Agama sebagai instrument penting penegakan hukum dalam rangka mencapai keadilan serta kebermanfaatan bagi pihak-pihak yang bersengketa pada khususnya maupun bagi umat Islam secara keseluruhan. Untuk itu pada pembahasan kali ini kami menghadirkan beberapa kasus di bidang hukum pernikahan agar memudahkan analisa terhadap putusan hakim Peradilan Agama

    1) Izin Menikah/Wali

      Kedudukan wali dalam hukum perkawinan Islam memiliki kedudukan yang amat penting karena ia merupakan slah satu rukun dari yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita agar pernikahan dapat dilangsungkan. Namun dalam kenyataan sekali banyak ditemukan permasalahan perihal wali seperti:

      Orang tua wanita (wali) tidak memberi izin

    • Wali nikah berlainan agama dengan calon mempelai wanita, sedangkan calon memperlai wanita baeragama Islam
    • Wali bertempat tinggal jauh dari tempat dilangsungkan perkawinan
    • Wali tidak cakap tidak mampu bertindak sebagai wali

      Berikut ini merupakan salah satu putusan hakim Peradilan Agama yang menyelesaikan sengketa wali :

      Pengadilan Agama Banda Aceh Nomor 49/1978 tanggal 15-03-1978

      Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh Nomor 30/1978 tanggal 1 Juni 1978 (30)

      a. Analisis:

      1. Putusan Pengadilan Agama ini berhubungan dengan kasus seorang wanita yang telah beragama Islam dan menikah dengan laki-laki yang beragama Islam sedangkan wali (ayah kandung) tersebut masih tetap beragama Hindu

      2. Hakim dalam masalah ini menerapkan kaidah :

      • Seorang wali gugur kewenangannya untuk dapat member izin atas pernikahan anaknya, karena dia beragama lain, sedangkan yang menikah beragama Islam.
      • Hak perwalian orang tua gugur bila dia beragam lain sedangkan anaknya beragama Islam (QS. An-Nisa ayat 141)
      • Pemerintah adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali (Ianah al- ThalibinJuz III. hal. 314)

      3. Pengadilan Tinggi Agama setelah menerima atas banding dari wali perempuan, menguatkan putusan tersebut

      b. Manfaat Putusan Hakim:

      Pada kasus ini, putusan hakimperadilan agama memberikan kepastian hukum bagi mempelai wanita terkait siapa yang seharusnya menjadi wali dalam pernikahannya sehingga ia bias tetap melangsungkan pernikahan walaupun sang ayah berbeda agama dengannya yakni dengan diwakili oleh wali hakim.

      2) Izin Poligami

      UU No. 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa azas perkawinan adalah monogami. Namun terhadap azas tersebut masih dapat dikecualikan, dalam artian poligami diperbolehkan apabila syarat-syarat yang ditentukan di dalam UU tersebut dapat dipenuhi. Terkait hal ini hakim Peradilan Agama berperan sebagai pemberi keputusan atas boleh atau tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami.Berikut ini contoh keputusannya:

      Penetapan Pengadilan Agama Sijunjung No. 93/1978 tanggal 5 Oktober 1979(31)

      a) Analisis:

        Pemohon dalam positanya mengemukakan alas an berpoligami karena telah berpacaran kurang lebih dua bulan dengan mengadakan perjanjian akan melangsungkan pernikhan yang sudah disetujui oleh kedua belah pihak.

        Pertimbangan hakim Peradilan Agama adalah alas an pemohon bertentangan dengan syarat-syarat izin poligami, pemohon tidak mungkin dapat berlaku adil karena penghasilannya amat kecil. Oleh karenanya diputuskan: menolak syarat-syarat poligami yang diajukan oleh Pemohon dan hakim tidak member izin poligami kepada pemohon

      b) Manfaat putusan hakim:

        Dalam kasus diatas telah tampak bahwasanya putusan hakim peradilan agama telah melindungi hak-hak istri untuk tidak dipoligami apabila tidak ada alas an yang tepat bagi suami untuk melakukannya.

    3) Gugatan Cerai dan Cerai Talak

      Meskipun diperbolehkan dalam namun perceraian merupakan hal yang paling dibenci oleh Allah Swt. Oleh karenanya apabila sepasang suami istri ingin bercerai harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Pihak istri dapat mengajukan gugatan cerai dengan alasan pihak suami melanggar perjanjian ta’lik talak. Namun dalam gugatan perceraian sering terdapat perbedaan pendapat antara pihak yang bertitik tolak dari semangat dan memperkecil jumlah perceraian dengan pihak yang bertitik tolaj dari pemikiran bahwa pelanggran ta’lik talak secara mutlak dapat diterima sebgai dasar perceraian. Berikut ini merupakan putusan hakim terkait ta’lik talak:

      Mahkamah Agung Nomor 25 K/AG/1979, tanggal 12 Juni 1980 (32)

    1. Analisis
      1. .Putusan Mahkamah Agung ini berhubungan dengan masalah cerai
      2. . Menurut kaidah ta’lik talak isteri dapat meminta cerai dari suami kalau ta’lik talak itu dilanggar
      3. . a. Dalam kasus ini ada tiga dasar/alasan bagi isteri untuk mengajukan gugatan cerai:
        • Adanya pertikaian terus menerus yang sulit untuk diperbaiki lagi sehingga mengganggu kehidupan rumah tanggabaik lahir maupun batin.
        • Suami kawin lagi pada tahun 1977, padahal sesudah berlakunya UU No. 1/1974 kalau suami kawin lagi ia harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam pasal 3-5 UU Nomor 1 tahun 1974 jo pasal 40-44 No.9/1975, antara lan: ada persetujuan isteri, ada kemampuan untuk menjamin keperluan istri dan anak-anak dan sebagainya, tetapi dalam kenyataannya kondisi ekonomi rumah tangga mereka berada dalam keadaan memprihatinkan
        • Ta’lik Talak yang dilanggar adalah: suami tidak memenuhi kewajibannya memberi nafkah kepada istrinya selam 16 bulan.

        b. Pengadilan Agama mengabulkan gugatan cerai isteri dengan menyatakan jatuhnya talak satu khul’i, yaitu talak yang terjadi karena pelanggaran perjanjian perkawina. Dengan adanya ’iwadh, mereka tidak boleh rujuk tetapi dapat kawin kembali. Putusan hakim peradilan agama ini kemudian diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung No. 25K/AG/1979 itu merupakan peringatan bagi para suami

    1. Manfaat putusan

      Pada kasus ini putusan peradilan agama bermanfaat untuk memberikan peringatan bagi suami agar memperhatikan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga.

  1. Rujuk

    Seorang suami yang telah menceraikan istrinya, namun kemudian ingin rujuk, maka ucapan rujuk tersebut harus dilakukan didepan saksi dan KUA akan tetapi sering terjadi rujuk tanpa persetujuan istri. Hal ini menjadi masalah apalagi hal tersebut dilakukan suami setelah lewat masa iddah. Berikut ini contoh putusannya:

    Pengadilan Agama (PA) Padang Panjang Nomor 811/1986 tanggal 19 Mei 1966 (33) :

      1. Analisis
    1. Dalam putusan PA Padang Panjang ini terkandung dua permasalahan:
        1. Rujuk tanpa persetujuan istri
        2. Rujuk melampaui masa iddah berdasar sumpah istri.

      Suami melakukan rujuk dengan mendatangi istri ke tempat kediamannya, dan menurut istri dia tidak melanggar lafaz rujuk yang diucapkan suami. Lagi pula sekiranya benar ada rujuk pada 8 April 1966, sudah lewat masa iddah, dan istri sudah kawin dengan lelaki lain pada tanggal 8 April 1988

    1. Kaidah hukum yang diterapkan hakim dalam putusan ini adalah bahwa rujuk yang dilakukan sesudah lewat masa iddah tiga kali quru yang kebenarannya dibuktikan berdasar istri, tidak sah dan batal demi hukum
    2. Putusan ini tepat. Apalagi isteri sudah kawin lagi dengan lelaki lain. Sebenarnya dengan adanya sangkalan istri bahwa rujuk dilakukan sudah lewat masa iddah sudah merupakan isyarat ketidaksetujuan dirujuki suami. Sesuai dengan pasal 167 Kompilasi Hukum Islam, salah satu syarat formil keabsahan rujukan adalah ”persetujuan” istri. Selain daripada itu, rujuk tanpa persetujuan isteri tidak dapat dipaksakan dan dieksekusi.
      1. Manfaat

      Manfaat putusan hakim peradilan agama pada kasus ini adalah menjamin kepastian hukum terhadap sang mantan istri. Dominasi dan superioritas suami dalam rujuk harus ditanggalkan dengan cara memproporsionalkannya dengan hak istri untuk menyetujui atau menolak rujuk dari suami.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

          1. Kesimpulan

    Manfaat putusan hakim peradilan agama dalam ruang lingkup hukum pernikahan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara perkawinan dengan berpegang pada prinsip keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.













DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an

    Ali, Daud. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada: 2006

    Badan Pembinaan Hukum Nasional. Analisa dan Evaluasi Tentang Yurisprudensi Peradilan Agama. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1994

    Gani, Abdul.Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia.Jakarta: Gema Insani Press, 1994

    Masyhur, Kahar. Fikih Sunnah Pengadilan/ Warisan. Jakarta: Kalam Mulia, 1991

    Rachman, Fatchur. Hadist-Hadist Peradilan Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1977

    Ramulyo, Idris. Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama.Jakarta: IND-HILL.CO, 1991

    Rujukan Internet:

Sukoharjo. ”Kewenangan Peradilan Agama”. http://www.sukohardjo.go.id/. (12 April 2010)