Selasa, 30 November 2010

MAHAR

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

ABTRAK…………………………………………………………………….i

KATA PENGANTAR………………………………………………………..iii

DAFTAR ISI………………………………………………………………….iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah……………………………………..

B. rumusan masalah……………………….

C. Penjelasan judul……………………………………………..

D. Tujuan dan kegunaan penelitian…………………………….

E. Kerangka teoritis……………………………………………

F. Metode penelitian ………………………………………….

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang di mintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya di tetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus di berikan secara ikhlas. Para Ulama fiqih sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan. Sesuai dengan Firman Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat 4 :

وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا(4)

Artinya: Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Dalam hadis Nabi juga menjelaskan:

عن عائثة رضى اللة عنة قالت قال رسول اللة ص م ايما امراة نكحت بغير اذن وليها فنكاحها باطل فان ندخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فان اشتجروافاالسلطن ولي له )اخرجه الا النسائي و صححه ابوعونه وابن حبان والحلكم(

Artinya: Dari Aisyah RA bahwa rasul SAW bersabda “ perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikah Nya bathil . jika sang lelaki telah mencampuri Nya maka ia wajib membayar mas kawin untuk kehormatan yang telah di halalkan darinya dan mereka bertengkar maka penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali. (HR imam empat kecuali Nasa’I hadis soheh menurut Abu Awanah bin Hibban dan Hakim)[1]

Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian istilah shadaqah, Nihlah, dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia.

Sedangkan istilah selain mahar bukan hanya jarang di gunakan, melainkan masih banyak orang yang belum memahami maknanya. Istilah shadaqah, dan Shidaq apalagi nihlah kurang tersosialisasi dalam masyarakat, sedangkan istilah mahar dan Mahar merupakan pemberian yang di lakukan oleh pihak mempelai maskawin telah dipahami maknanya sampai masyarakat awam.

Di dalam KHI masalah mahar juga telah di jelaskan yang terdapat pada ;

Pasal 30

Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah pihak.

Pasal 31

Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh agama Islam.

Pasal 32

Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu milik pribadinya.

Menurut Sayid sabiq dalam bukunya fiqih Sunnah juga menjelaskan bahwa hak suami terhadap istrinya:

1.Hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah

2. Hak rohaniah, deperti melakikannya dengan adil jika duami berpoligami dan tidak boleh membahayakan iostri[2]

Memahami dari dalil-dalil di atas, mulai dari nash, pendapat para ulama fiqh dan sampai pada KHI penulis berpendapat bahwa mahar adalah pemberian yang wajib di berikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai prempuan baik di sebutkan jumlahnya atau tidak dan pemberian itu secara kontan atau secara tempo beberapa waktu. Pemberiam itu juga harus ikhlas dan kerelaan hati dan sejak itu menjadi haj milik mempelai wanita atau istri yang tidak boleh diambil tanpa izinnya.

Kenyataannya tidak semua suami mau membayar utang kepada istri, walaupun utang itu suatu yang harus di tepati atau di bayarkan, terkadang suami enggan membayarkan hutangnya (mahar dan uang jujur) terhadap istrinya, di sebabkan suami mengetahui istri tidak perawan lagi sesudah mereka melangsungkan aqad nikah, sedangkan suami beranggapan istrinya tersebut dalam keadaan perawan (gadis), seperti yang terjadi pada keluarga Bapak Suban Harahap dengan Ibuk Santi sekitar dua tahun yang lalu, mereka melangsungkan pernikahan dan di saat ijab qabul suami terang-terang menyebutkan dihadapan P3N dan Saksi-Saksi bahwa Suban Harahap (suami) untuk pembayaran uang mahar dan uang jujur berutang, namun nyatanya menurut pengakuan istri, suami tidak mau membayar utang tersebut, sang suami berdalih istrinya di saat mereka nikahi sudah tidak dalam keadaan perawan lagi.

Merujuk pada permasalahan ini penulis merasa tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan judul” KEENGGANAN SUAMI MEMBAYAR UTANG MAHAR DI SAAT SUAMI MENUDUH ISTRI TIDAK GADIS LAGI DI TINJAU DARI HUKUM ISLAM (study kasus di Jorong padang Mentinggi, kabupaten pasaman)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pokok pikiran yang tertuang dalam latar belakang di atas serta untuk terarahnya proposal skripsi ini. Maka masalah yang di bahas dalam proposal skripsi ini adalah : Apakah suami akan terlepas dari utang mahar dan uang jujur di sebabkan istri sudah tidak perawan lagi di saat pernikahan?

C. Penjelasan judul

Enggan : Tidak mau karena tidak suka (keengganan) ketidak mauan, ketidak sukaan. Karena menolak, malas atau enggannya mengabulkan permintaan orang[3]

Suami : Pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita.[4]

Istri : Wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang bersuami.[5]

Hukum Islam : Seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia Mukallaf yang diakui dan di yakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam[6].

Mahar : harta yang menjadi milik perempuan (istri) yang dapat dimanfaatkan secara syara’ dan dapat dibelanjakan secara langsung atau ditangguhkannya pada masa mendatang[7]

Uang jujur : uang yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak wanita yang gunanya untuk membeli perlengkapan kamar untuk dibawa nantinya ke rumah laki-laki.

Dari beberapa penjelasan istilah yang telah dikemukakan di atas, maka yang penulis maksud dengan judul ini secara keseluruhan adalah apakah suami akan terlepas dari utang mahar dan uang jujur disebabkan istri tidak dalam keadaan perawan di saat perkawinan berlangsung (tidak bikir).

D. Tujuan dan kegunaan penelitian

1. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

a) Untuk mengetahui bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap suami yang enggan membayar utang mahar dan uang jujur disebabkan istri sudah tidak gadis lagi.

2. Sementara kegunaan penelitian ini adalah :

a) Sebagai sumbangan pemikiran dan partisipasi penulis dalam pembangunan ilmu pengetahuan terutama dalam disiplin ilmu Syari’ah. dalam rangka memenuhi tugas Metode Penelitian Hukum, sekaligus proposal skripsi pada jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah. Institute Agama Islam Negeri ( IAIN ) “Imam Bonjol” Padang

b) Sebagai kontribusi pemikiran dari penulis dan menambah khazanah keilmuan dan perbendaharaan karya ilmiah bagi penulis dan generasi selanjutnya.

E. Kerangka teoritik

Salah satu dari usaha Islam adalah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberikan hak untuk memegang urusannya, suami wajib memberikan mahar kepada wanita bukan kepada walinya atau ayahnya. Dan kepada orang yang paling dekat kepadanya sekalipun tidak dibenarkan menjamah sedikitpun harta bendanya tersebut, kecuali dengan ridha-Nya, dan kemampuannya sendiri, Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 4:

وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا(4)

Artinya: Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikah) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Maksudnya berikan mahar kepada para istri sebagai pemberian wajib, bukan pembelian atau ganti rugi., jika istri telah menerima maharnya tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya kepadamu, maka terimalah dengan baik. Karena hal tersebut tidak disalahkan dan tidak di anggap dosa, bila istri memberikan maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 20:

أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا(20)

Artinya: Dan jika kamu ingin mengganti istri dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?

Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar. Karena adanya pembesaran kaya dan miskin, selain itu tiap masyarakat mempunyai adat dan tradisi sendiri, karena itu Islam menyerahkan jumlah mahar itu berdasarkan kemampuan masing-masing orang, atau keadaan atau tradisi keluarganya, segala Nash yang memberikan keterangan tentang mahar tidaklah di maksudkan kecuali untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut, tanpa melihat besar kecilnya jumlah[8]

F. Metode penelitian

Metode penelitian dalam usaha menyusun dan menyelesaikan proposal ini, penelitian di lakukan dengan dua cara:

1. Penelitian lapangan (field Research) dengan mengumpulkan data-data dengan cara:

a. Wawancara

Wawancara adalah suatu metode dalam mengumpulkan dengan cara mengumpulkan data dengan cara mengajukan pertanyaan yang di kehendaki jawabannya kepada responden baik secara lisan maupun tulisan[9]. Yang akan di wawancara adalah pihak-pihak dalam kasus seperti pasangan suami istri yang terlibat dalam masalah ini.

b. Observasi

Mengadakan observasi di sebuah kenagarian Observasi adalah suatu usaha sadar untuk mengumpulkan data yang dilakukan secara sistematik dan prosedur yang bersandar tang tujuan pokoknya adalah pendekatan pengukuran terhadap variabel untuk mendapatkan data yang berkenaan dengan utang mahar dan uang jujur maka penulis Tarung-tarung Rao Ka. Pasaman mengadakan penelitian secara langsung.

2. Penelitian kepustakaan

Pengumpulan dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan buku yang terkait langsung dalam masalah penelitian, setelah dikumpulkan baru di pisahkan antara bahan-bahan primer dan sekunder, setelah itu di baca dan di analisis dan di ambil kesimpulan penelitian yang bersifat kualitatif, untuk itu data-data yang di peroleh secara deskriptif kualitas


DAFTAR PUSTAKA

Departemen P&K. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Balai Pustaka.1998)

H.Ahmad Alhamdani, risalah nikah, penerjemah Agus Salim, Jakarta: pustaka Amini1989 Abdul asis dahlan, ensiklopedia hukum Islam, (Jakarta: pt Okhtiar, Baru van hoven , cet 1, 1997

Kahar, Masjur , terjemakan Blugul murom jilid II , PT Rineka cipta, Jakarta: 1992

Suharsimi arikunto, prosedur penelitian suatu pendekatan praktek, Jakarta: PT Rineka cipta 1998

Sayyid sabiq, fiqih Sunnah, PT.AL Ma’arif, Bandung: 1981 hal 52



[1] Kahar, masjur , terjemakan BUlugul murom jilid II , PT Rineka cipta, Jakarta: 1992 h. 15-16

[2] Sayyid sabiq, fiqih Sunnah, PT.AL Ma’arif, Bandung: 1981 hal 52

[3] [3] Departemen P&K. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Balai Pustaka.1998) h. 822

[4] ibid h. 341

[5] Ibid. h. 965

[6] Abdul asis dahlan, ensiklopedia hukum Islam, (Jakarta: pt Okhtiar, Baru van hoven , cet 1, 1997 hal 1353)

[7] Lu’is Ma’luf, Al-munjid Fi al-lughah wa al- A’lam (Dar al-masyariq: Al-Maktabah al-Syariqah, 1986, h 777)

[8] Sayyid sabiq, fiqih Sunah h. 53-55

[9], Suharsimi arikunto, prosedur penelitian suatu pendekatan praktek, Jakarta: PT Rineka cipta 1998 h.231

LKB

Penilaian Terhadap Tingkat Kesehatan Bank

Posted on September 24, 2009 by Putra

Tingkat Kesehatan Bank merupakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu Bank melalui penilaian faktor permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar.

Penilaian terhadap faktor-faktor tersebut dilakukan melalui penilaian kuantitatif dan atau kualitatif setelah mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari faktor-faktor penilaian serta pengaruh dari faktor lainnya seperti kondisi industri perbankan dan perekonomian nasional.

Penilaian tingkat kesehatan Bank mencakup penilaian terhadap faktor-faktor CAMELS yang terdiri dari:

a. Permodalan (Capital)

Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor permodalan antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:

1) kecukupan pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) terhadap ketentuan yang berlaku;

2) komposisi permodalan;

3) trend ke depan/proyeksi KPMM;

4) aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan modal Bank;

5) kemampuan Bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari keuntungan (laba ditahan);

6) rencana permodalan Bank untuk mendukung pertumbuhan usaha;

7) akses kepada sumber permodalan dan kinerja keuangan pemegang saham untuk meningkatkan permodalan Bank.

b. Kualitas Aset (Asset Quality)

Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor kualitas asset antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:

1) aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan total aktiva produktif;

2) debitur inti kredit di luar pihak terkait dibandingkan dengan total kredit;

3) perkembangan aktiva produktif bermasalah/non performing asset dibandingkan dengan aktiva produktif;

4) tingkat kecukupan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP);

5) kecukupan kebijakan dan prosedur aktiva produktif;

6) sistem kaji ulang (review) internal terhadap aktiva produktif;

7) dokumentasi aktiva produktif dan kinerja penanganan aktiva produktif bermasalah.

c. Manajemen (Management)

Penilaian terhadap faktor manajemen antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:

1) manajemen umum;

2) penerapan sistem manajemen risiko; dan

3) kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen kepada Bank Indonesia dan atau pihak lainnya.

d. Rentabilitas (Earnings)

Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor rentabilitas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :

1) Return on Assets (ROA);

2) Return on Equity (ROE);

3) Net Interest Margin (NIM);

4) Biaya Operasional dibandingkan dengan Pendapatan Operasional (BOPO);

5) Perkembangan laba operasional;

6) Komposisi portofolio aktiva produktif dan diversifikasi pendapatan;

7) Penerapan prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya dan Prospek laba operasional.

e. Likuiditas (Liquidity)

Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor likuiditas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:

1) aktiva likuid kurang dari 1 bulan dibandingkan dengan pasiva likuid kurang dari 1 bulan;

2) 1-month maturity mismatch ratio;

3) Loan to Deposit Ratio (LDR);

4) proyeksi cash flow 3 bulan mendatang;

5) ketergantungan pada dana antar bank dan deposan inti;

6) kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilities management/ALMA);

7) kemampuan Bank untuk memperoleh akses kepada pasar uang, pasar modal, atau sumber-sumber pendanaan lainnya dan stabilitas dana pihak ketiga (DPK).

f. Sensitivitas terhadap risiko pasar (Sensitivity to Market Risk)

Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor sensitivitas terhadap risiko pasar antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:

1) Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi suku bunga dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) suku bunga;

2) Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi nilai tukar dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) nilai tukar; dan

3) Kecukupan penerapan sistem manajemen risiko pasar.

Kesehatan atau kondisi keuangan dan non keuangan Bank merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola (manajemen) Bank, masyarakat pengguna jasa Bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan Bank, dan pihak lainnya. Kondisi Bank tersebut dapat digunakan oleh pihak-pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja Bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko. Perkembangan industri perbankan, terutama produk dan jasa yang semakin kompleks dan beragam akan meningkatkan eksposur risiko yang dihadapi Bank. Perubahan eksposur risiko Bank dan penerapan manajemen risiko akan mempengaruhi profil risiko Bank yang selanjutnya berakibat pada kondisi Bank secara keseluruhan.

Perkembangan metodologi penilaian kondisi Bank senantiasa bersifat dinamis sehingga sistem penilaian tingkat kesehatan Bank harus diatur kembali agar lebih mencerminkan kondisi Bank saat ini dan di waktu yang akan datang. Pengaturan kembali tersebut antara lain meliputi penyempurnaan pendekatan penilaian (kualitatif dan kuantitatif) dan penambahan faktor penilaian.

Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi Bank tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu yang akan datang sedangkan bagi Bank Indonesia, antara lain digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan Bank. Agar pada waktu yang ditetapkan Bank dapat menerapkan sistem penilaian tingkat kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, maka perbankan perlu melakukan langkah-langkah persiapan dalam menerapkan sistem tersebut.